Sub: Prioritas untuk kesejateraan
masyarakat
Keberadaan
sumberya alam hutan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya
diperuntukan bagi negara dan pembangunan nasional namun negara juga harus mengakomodir keterlibatan
dan Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari. Prinsip demikian, dalam pengelolaan hutan harus
sejalan dengan kepentingan penguasaan hutan oleh masyarakat. Meskipun,
berdasarkan kebijakannya pembagian kawasan hutan untuk konservasi, lindung, dan
produksi merupakan upaya pemerintah dalam, melestarikan sumberdaya hutan
tentunya kepentingan masyarakat yang berada didalam konsesi hutan yang dikelola
pemerintah tersebut tidak dapat dikesampingkan.
Pemerintah telah mencoba mengakomodasi berbagai
aspirasi yang berkembang mengenai kelestarian hutan dan kesejahteraan
masyarakat. Tentu saja
akomodasi-akomodasi yang telah dan akan dilakukan pemerintah tidak bisa begitu
saja terlepas sama sekali dari
kepentingan-kepentingan pemerintah terhadap sumberdaya alam dan sistem serta
mekanisme yang sudah berjalan dalam birokrasi pemerintah selama ini.[1]Misalnya
seperti kebijakan HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang secara filosofis - menurut beberapa
pihak baik di pemerintah maupun ornop – merupakan pemberian atau penyerahan
kepercayaan dan hak kepada masyarakat lokal untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Kebijakan
penetapan hutan kemasyarakatan merupakan
Kedaulatan rakyat atas hutan dan sumberdaya alam yang diartikan sebagai otonomi
rakyat dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alamnya secara lestari dan
berkelanjutan antar generasi hal ini akan dapat dicapai melalui kemandirian
masyarakat dalam mengatur dan mengelola kehidupannya dan kebijakan pemerintah
yang menghormati dan melindungi otonomi rakyat tersebut.[2]
Kebijakan
pemerintah melalui sistem dapat melindungi Hutan Kemasyarakatan (HKM) ataupun
dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan Hutan Kemasyrakatan (HKM) . jika
kebijakan tersebut memberikan ijin bagi investasi perkebunan, pertambangan,
HPH, atau HTI di wilayah-wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKM). Kebijakan
pemerintah melindungi keberadaan Hutan Kemasyarakatan, jika memberikan
pengakuan terhadap keberadaan Hutan Kemasyarakatan sebagai upaya pemerintah
untuk memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat untuk mengelola sumberdaya alam
dan tidak mengeluarkan ijin investasi skala besar bagi pihak luar di wilayah
Hutan Kemasyarakatan. Pengakuan dalam bentuk kebijakan yang tertulis dari
pemerintah dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat yang diberi kedaulatan
untuk mengelola hutan kemasyarakatan serta melindungi kawasannya dari ancaman
pihak luar.[3]
Lantas sudahkah ditetapkan kebijakan sepenuhnya untuk memberdayakan masyarakat?
Penetapan Hutan
kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses
terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna
menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat
setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di
masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, keberadaan
Hutan Kemasyarakatan bertujuan untuk Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara
optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan
dan lingkungan hidup.[4]
Sebelum
memanfaatkan sumberdaya hutan yang diperuntukan bagi masyarakat setempat yang
berdasarkan fungsinya yaitu hutan lindung dan hutan produksi guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat harus terlebih dahulu meliputi:[5]
a. penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan;
b. perizinan dalam hutan kemasyarakatan;
c. hak dan kewajiban;
d. pembinaan, pengendalian dan pembiayaan;
e. sanksi;
Areal
kerja hutan kemasyarakatan ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan
lindung dan kawasan hutan produksi. Hutan Lindung dan
Hutan Produksi dapat di tetapkan jadi hutan
kemasyarakatan jika belum dibebani
hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan oleh masyarakat setempat pada hakekatnya merupakan pola pemanfaatan
hutan negara oleh sekelompok masyarakat yang berada di sekitar hutan yang
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
Pada dasarnya Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan
utama ditujukan untuk memberdayakan masyarakat (penjelasan Pasal 5 ayat
1). Pengaturan mengenai hutan
kemasyarakatan ini telah ada sebelum UU 41/99 lahir dan sudah mengalami
beberapakali perubahan. Peraturan mengenai Hutan Kemasyarakatan yang terakhir
adalah Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001. Pada dasarnya Hutan Kemasyarakatan
adalah hak pengelolaan hutan negara yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
dengan jangka waktu tertentu di semua fungsi kawasan hutan baik fungsi produksi
maupun fungsi konservasi. Pilihan hak yang tersedia dalam UU No. 41 tahun 1999
paling tiinggi gradasinya hanya sebatas hak pengelolaan hutan yang tentunya
dengan jangka waktu terbatas. Hak
tersebut dapat dicabut kembali oleh pemrintah sewaktu-waktu atau pada waktu
habis jangka waktunya. Artinya pilihan yang ada dalam UU 41/99 tidak memberikan
jaminan keamanan dan kepastian pengelolaan SHK secara sustainable dalam jangka
panjang.[6]
Kepentingan
masyarakat atas keberadaan fungsi hutan pada hakikatnya mengandung kekuasaan
yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dengan perlindungan hukum ini maka
subyek hak dapat menuntut haknya terhadap setiap gangguan pihak lain termasuk
negara. Artinya, kepentingan merupakan sasaran hak. Bukan hanya karena
dilindungi oleh hukum melainkan juga karena adanya pengakuan terhadapnya.[7]
Untuk memberikan jaminan serta kepastian pengelolaan
Hutan Kemasyarakatan ketertiban hukum harus
diwujudkan oleh negara melalui pengaturan hubungan hukum antara manusia dengan
sumberdaya alam atau manusia dengan manusia yang berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya alam. Dengan demikian melalui penetapan hutan kemasyarakatan kelompok
masyarakat berkepentingan dan memiliki hak dalam pengelolaan sumberdaya hutan
serta memberikan peluang bagi masyarakat
untuk mengelola hutan secara lestari tanpa intervensi oleh negara maupun
kepentingan investasi pemodal.
Penulis
Fajrian Noor
[1]Muayat Ali Mhusi,
Artikel Tantangan dan peluang pengakuan
sistem hutan kerakyatan (SHK) di era Otonomi Daerah hlm. 5-6
[2] Ibid,.hlm 7
[3] Diakses dari, http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/25/hukum-kehutanan-administrasi/
Siti Khotijah, artikel: Hukum
Kehutanan Administrasi.
[4] Gunanegara, Rakyat dan Negara, PT Tata Nusa, Jakarta,2008,
hlm. 31
[5] Ibid,.hlm 32-33
[6] Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks
Pengelolaan Sumberdaya Alam, ELSAM, Jakarta, hlm 12.
[7] Sudikno Mertokusumo.
Mengenal Hukum, Edisi Ketiga Liberty. Yogjakarta. 1991.hlm 10-41.