Diskriminasi Hak Sipol, Eks Tapol Belum Temukan
Makna Kemerdekaan
Paelan Gimin, Untung Suyanto, Sukarman, ngadiman,
Tukiman, Sujayus, Muradi Kaswan, merupakan sederet nama dari 35 orang warga eks
tahanan politik orde baru yang kini masih hidup dan masih dapat menceritakan
pahit dan getirnya kisah hidup yang mereka alami pada jaman orde baru
pemerintahan Presiden Suharto. 38 tahun
sudah mereka bermukim di Desa Siaga Kelurahan Argosari Kabupaten Kutai
Kartanerga, sejak itu pula hingga saat ini mereka masih memendam kekecewaan
yang mendalam karena perlakuan pemerintah orde baru terhadap mereka, ragam
penyiksaaan fisik dan moril sudah menjadi penghakiman yang dialami oleh seluruh
warga eks tahanan politik di desa itu. Saat ini, hanya pengharapan yang mereka
inginkan yaitu, rehabilitasi dari stigma negatif dan perlindungan hak sipil
politik mereka sebagai warga negara Indonesia.
Pada mulanya, sederet nama para eks tapol itu telah
dihakimi tanpa melalui proses peradilan yang
jelas karena dituduh terlibat sebagai bagian dari Gerakan PKI 30
September 1965 kemudian, dinyatakan bebas tahun 1977.Para eks tapol di Desa
Siaga itu terdiri dari berbagai latar belakang tidak hanya warga sipil
melainkan eks tapol yang berstatus sebagai anggota Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) ) pada saat itu berjumlah 40 orang. Perlakuan diskriminatif yang mereka alami lantas tidak berakhir begitu saja
pasca mereka sudah dinyatakan bebas. Melalui Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) dibentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) setelah peristiwa penculikan jenderal tahun 1965 di Jakarta. Mayjen Soeharto yang
menjadi komando pertama dan pada tahun
1977, pelaksana tugas hariannya diserahkan kepada Laksamana Soedomo.
Oleh, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Para eks
tapol tahun 1965 yang dituduh terlibat dalam pemberontakan
bersama partai Komunis Indonesia (PKI) di seluruh provinsi di Indonesia termasuk pemulihan keamanan yang di
lakukan di Kalimantan Timur yang meliputi, Kota Samarinda, Balikpapan, Kutai
Kartanegara dan Kabupaten Paser. Melalui Kodam
Mulawarman proses pemulihan keamanan dan ketertiban dilakukan di kota-kota itu dalam
proses pemulihan tersebut, Kodam Mulawarman berhasil menemukan orang-orang yang
dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI 30 September 1965. Seluruh orang-orang
yang dituduh itu dikumpulkan lalu kemudian ditempatkan di suatu barak
penampungan yang terdapat di wilayah Amburawang Darat. Kondisi barak
penampungan tersebut sangat memilukan hati bagi siapa pun orang yang
melihatnya. Tembok tinggi dan pagar berduri mengelilingi barak penampungan itu.
Belum lagi, pengawasan serdadu bersenjata di pos-pos jaga membuat para eks
tapol tidak memiliki keleluasaan dalam menjalankan setiap aktifitasnya. Para
eks tapol kemudian diharuskan untuk wajib lapor 3 kali dalam 1 hari pada saat
para eks tapol ingin keluar barak untuk kepentingan berobat atau berbelanja
untuk kebutuhan hidup mereka selama berada di dalam barak penampungan.
Kehidupan mereka didalam barak penampungan itu sangat
terisolir tidak mendapatkan akses informasi serta ruang gerak yang sangat
terbatas. Barak yang dijadikan penampungan itu sejogyanya menrupakan camp
konsentarasi bagi para eks tapol di wilayah itu yang kini bernama Desa Siaga di desa ini lah menjadi saksi bisu
kekejaman dan perlakuan diskriminatif yang telah dialami oleh warga eks tapol
yang bermukim ditempat itu. desa ini,
ditetapkan oleh pemerintah orde baru sebagai camp konsentrasi yang diperuntukan
sebagai tempat rehabilitasi warga eks tapol tahun 1965. Dalam melakukan
rutinitas sehari-hari warga eks tapol kemudian diharuskan untuk membuka lahan
hutan belantara yang tidak jauh dari barak karena pada saat itu wilayah barak
tersebut merupakan hutan belantara yang tidak berpenghuni. Rutinitas menebang
pohon-pohon besar dan merintis lahan semak belukar didalam hutan belantara
menjadi kegiatan sehari-hari para warga eks
tapol ketika itu. Sedangkan, untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi para eks tapol diperoleh dari lahan yang sudah
dirintis yang kemudian menjadi lahan
pertanian dan kayu-kayu hasil penebangan pohon hutan oleh para eks tapol dijual
sebagian digunakan untuk membuat rumah.
2 tahun setelah para eks tapol menjalankan rutinitas dan
aktivitas dibawah pengawasan serdadu ABRI dengan ruang gerak yang terbatas
tersebut, pada tahun 1979 para eks tapol dibebaskan dari proses relokasi dan
pengekangan di dalam barak itu kemudian, para eks tapol diberikan hak untuk
menempati lahan hutan yang sudah mereka rintis. Hingga sampai dengan saat ini,
lahan rintisan itu sudah menjadi wilayah desa yang berkembang dan banyak dihuni pemukiman penduduk tidak hanya
warga yang berstatus eks Tapol melainkan
juga dihuni oleh warga sipil lainya yang tidak berstatus eks Tapol. Kemudian,
pada tahun 2002 melalui kebijakan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dilakukan pemekaran wilah
kabupaten sehingga Desa Argosari ditepakan dan
masuk wilayah administratif Pemerintahan
Kabupaten Kutai Kartanegara yang kemudian wilayah itu ditetapkan statusnya dari
Desa menjadi Kelurahan.
Sebelum
penetapan wilayah adminstratif
menjadi Kelurahan Argosari nama Desa
Argosari memiliki sejarah panjang yang
didasarkan pada hasil musyawarah yang
dilaksanakan masyarakat di camp rehabilitasi pada tahun 1979 maka terciptalah
nama Argosari. Nama Argosari sendiri mempunyai unsur filosifi yang mana Argo
berarti Gunung karena Desa argosari secara letak geografis bergunung-gunung
dengan dikelilingi oleh sungai-sungai yang mengalir menuju laut, serta Sari
yang berarti ampas karena warga yang pertama kali ada di desa ini merupakan eks
tahanan politik tahun 1965 dimana pada saat itu stigma tentang tapol merupakan
warga negara yang sangat hina dan tidak layak hidup di negara Indonesia.
Dari filosofi nama Argosari yang disematkan sebagai
wilayah bermukimnya para warga eks Tapol itu sangat jelas mengandung makna
mendalam bagi mereka, seakan menegaskan kembali bahwa mereka merupakan
orang-orang yang disingkirkan dan tidak diakui keberadaan nya di negeri ini. Walaupun
status kependudukan mereka sudah tidak lagi menyandang eks tapol namun, hal itu
belum cukup mengobati rasa kekecwaan yang mereka alami pada saat itu sampai
dengan detik ini. Stigma negatif terhadap mereka masih saja disematkan kepada
mereka walaupun tidak terpublikasi secara terbuka perlakuan diskriminatif masih
mereka alami terutama pemenuhan hak sipil politik yang mereka inginkan sebagai
warga negara Indonesia.
Sejarah kelam ini pasca relokasi pada tahun 1979
seharusnya sudah cukup bagi para warga eks tapol di desa itu merasakan
perlakuan diskriminasi, dan sudah seharusnya pula Pemerintah Kabupaten Kukar
memberikan perlindungan hukum dalam
setiap aspek kehidupan mereka terutama penghapusan stigma negatif dan pemenuhan
hak sipil politik . kepada warga eks tapol agar sama dengan warga lainya
sebagaimana didalam konteks persamaan kedudukan setiap warga negara Indonesia
di muka hukum. Pemenuhan hak sipil politik, merupakan keinginan yang menjadi
harapan mereka saat ini, terlebih diperuntukan bagi anak-anak keturunan para
eks tapol karena saat ini, hak sipil politik yang seharusnya mereka peroleh jauh
panggang dari api.
Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh setiap
anak-anak keturunan eks tahanan politik
meskipun tidak terpublikasi secara umum namun masih dirasakan misalnya,
anak-anak keturunan eks tahanan politik tidak diperbolehkan untuk menikah
dengan anggota TNI pelarangan ini dilakukan oleh Kodam Mulawarman kepada
seluruh prajuritnya dari jenjang kepangkatan manapun. Jika, terbukti dan
ditemukan terdapat prajurit yang
melanggar tentunya akan diberikan sanksi tegas dengan 2 opsi yaitu, tetap
melanjutkan menikah dengan anak eks tahanan politik dan dipecat dari
kesatuannya atau membatalkan pernikahan dengan anak-anak keturunan warga eks
tahanan politik Kelurahan Argosari.
Perlakuan dikriminatif lainya yang dialami oleh anak-anak
keturunan eks tahanan politik Desa Siaga Kelurahan Argosari Kecamatan Samboja
Kabupaten Kutai Kartanegara juga terjadi didalam birokrasi pemerintahan pada
saat anak-anak keturunan eks tahanan politik Kelurahan Argosari Kecamatan
Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara mendaftar menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil (CPNS) atau pegawai honorer di Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD)
Pemerintahan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Kalaupun terdapat anak-anak
keturunan warga eks tahanan politik yang
diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), anak-anak warga eks tahanan
politik tersebut secara administrasi kependudukan harus berkorban untuk keluar
dari kartu keluarga orang tuanya atau tidak memakai nama orang kandungnya di
dalam mendaftar.
Selain itu, perlakuan diskriminatif yang lebih tidak
manusiawi juga pernah terjadi dan dialami salah satu anak eks Tapol lainya
yaitu pada saat anak keturunan eks Tapol mendaftarkan diri menjadi anggota
kepolisian, padahal anak tersebut telah menyelesaikan proses seleksi syarat
masuk menjadi anggota Polri ditingkat daerah, merubah akta kelahiran dan kartu
keluarga pun sudah dilakukan. Namun, nasib berkata lain pada pada saat anak
tersebut telah mengikuti proses pendidikan yang sudah berjalan itu harus
dipulangkan karena ayahnya merupakan mantan eks Tapol yang dituduh terlibat
pada gerakan 30 September 1965 dan saat ini masih bermukim di Desa Siaga
Kelurahan Argosari Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara.
Keadaan diskriminasi terhadap pemenuhan hak sipil politik
anak-anak keturunan warga eks Tapoldi Desa Siaga Kelurahan Argosasri Kecamatan
Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara sangat jelas bertentangan dengan
Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
kemudian,Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan Internasional Covenant On
Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Covenant On Civil And
Political Rights) mempertegas hak-hak setiap warga negara Indonesia untuk
memperoleh hak sipil politik sebagaimana dalam konteks hak sipil yaitu kebebasan
fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia. Sementara dalam konteks Hak Politik merupakan hak
dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus
dijunjung tinggi dan di hormati oleh Negara dalam keadaan apapun.
Pemerintahan
Negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Jokowi melalui pidato nya
didalam konvensi ketatanegaraan sidang paripurna MPRI pada tanggal 14 Agustus
2015 tentang kinerja lembaga-lembaga negara. Dalam pidatonya juga menyatakan pemerintah akan mengedepankan
hak asasi manusia dan berjanji akan mengusut
tuntas setiap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Semoga saja, kebijakan itu bukan hanya
sebatas angin segar penyejuk hati sesaat yang nantinya diperoleh warga eks
tapol karena hanya melalui perhatian
pemerintah keberadaan hak-hak sipil politik setiap warga eks tapol dapat
diwujudkan meskipun stigma negatif masih ada dan dirasakan setidak pemulihan
nama baik bagi keturunan mereka menjadi pengharapan disisa hidup warga eks
tapol sebagai warga negara indonesia yang sama kedudukanya dimuka hukum dan harus dilindungi juga keberadaan nya sebagai
manusia yang merdeka.
Penulis
Fajrian
Noor
(Wakabid
Advokasi Hukum)
DPC
GMNI Balikpapan