Selasa, 18 Agustus 2015

Diskriminasi Hak Sipol, Eks Tapol Belum Temukan Makna Kemerdekaan


             Paelan Gimin, Untung Suyanto, Sukarman, ngadiman, Tukiman, Sujayus, Muradi Kaswan, merupakan sederet nama dari 35 orang warga eks tahanan politik orde baru yang kini masih hidup dan masih dapat menceritakan pahit dan getirnya kisah hidup yang mereka alami pada jaman orde baru pemerintahan Presiden Suharto.  38 tahun sudah mereka bermukim di Desa Siaga Kelurahan Argosari Kabupaten Kutai Kartanerga, sejak itu pula hingga saat ini mereka masih memendam kekecewaan yang mendalam karena perlakuan pemerintah orde baru terhadap mereka, ragam penyiksaaan fisik dan moril sudah menjadi penghakiman yang dialami oleh seluruh warga eks tahanan politik di desa itu. Saat ini, hanya pengharapan yang mereka inginkan yaitu, rehabilitasi dari stigma negatif dan perlindungan hak sipil politik mereka sebagai warga negara Indonesia.

           Pada mulanya, sederet nama para eks tapol itu telah dihakimi tanpa melalui proses peradilan yang  jelas karena dituduh terlibat sebagai bagian dari Gerakan PKI 30 September 1965 kemudian, dinyatakan bebas tahun 1977.Para eks tapol di Desa Siaga itu terdiri dari berbagai latar belakang tidak hanya warga sipil melainkan eks tapol yang berstatus sebagai anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ) pada saat itu berjumlah 40 orang. Perlakuan diskriminatif yang mereka alami lantas tidak berakhir begitu saja pasca mereka sudah dinyatakan bebas. Melalui Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dibentuk  Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) setelah peristiwa penculikan jenderal tahun 1965 di Jakarta. Mayjen Soeharto yang menjadi komando pertama dan pada tahun 1977, pelaksana tugas hariannya diserahkan kepada Laksamana Soedomo.

           Oleh, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)  Para eks tapol tahun 1965 yang dituduh terlibat dalam pemberontakan bersama partai Komunis Indonesia (PKI) di seluruh provinsi di  Indonesia termasuk pemulihan keamanan yang di lakukan di Kalimantan Timur yang meliputi, Kota Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara dan Kabupaten Paser. Melalui Kodam Mulawarman proses pemulihan keamanan dan ketertiban dilakukan di kota-kota itu dalam proses pemulihan tersebut, Kodam Mulawarman berhasil menemukan orang-orang yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI 30 September 1965. Seluruh orang-orang yang dituduh itu dikumpulkan lalu kemudian ditempatkan di suatu barak penampungan yang terdapat di wilayah Amburawang Darat. Kondisi barak penampungan tersebut sangat memilukan hati bagi siapa pun orang yang melihatnya. Tembok tinggi dan pagar berduri mengelilingi barak penampungan itu. Belum lagi, pengawasan serdadu bersenjata di pos-pos jaga membuat para eks tapol tidak memiliki keleluasaan dalam menjalankan setiap aktifitasnya. Para eks tapol kemudian diharuskan untuk wajib lapor 3 kali dalam 1 hari pada saat para eks tapol ingin keluar barak untuk kepentingan berobat atau berbelanja untuk kebutuhan hidup mereka selama berada di dalam barak penampungan.

           Kehidupan mereka didalam barak penampungan itu sangat terisolir tidak mendapatkan akses informasi serta ruang gerak yang sangat terbatas. Barak yang dijadikan penampungan itu sejogyanya menrupakan camp konsentarasi bagi para eks tapol di wilayah itu yang kini bernama  Desa Siaga di desa ini lah menjadi saksi bisu kekejaman dan perlakuan diskriminatif yang telah dialami oleh warga eks tapol yang bermukim ditempat itu.  desa ini, ditetapkan oleh pemerintah orde baru sebagai camp konsentrasi yang diperuntukan sebagai tempat rehabilitasi warga eks tapol tahun 1965. Dalam melakukan rutinitas sehari-hari warga eks tapol kemudian diharuskan untuk membuka lahan hutan belantara yang tidak jauh dari barak karena pada saat itu wilayah barak tersebut merupakan hutan belantara yang tidak berpenghuni. Rutinitas menebang pohon-pohon besar dan merintis lahan semak belukar didalam hutan belantara menjadi kegiatan sehari-hari  para warga eks tapol ketika itu. Sedangkan,  untuk mencukupi kebutuhan ekonomi para eks tapol diperoleh dari lahan yang sudah dirintis  yang kemudian menjadi lahan pertanian dan kayu-kayu hasil penebangan pohon hutan oleh para eks tapol dijual sebagian digunakan untuk membuat rumah.

           2 tahun setelah para eks tapol menjalankan rutinitas dan aktivitas dibawah pengawasan serdadu ABRI dengan ruang gerak yang terbatas tersebut, pada tahun 1979 para eks tapol dibebaskan dari proses relokasi dan pengekangan di dalam barak itu kemudian, para eks tapol diberikan hak untuk menempati lahan hutan yang sudah mereka rintis. Hingga sampai dengan saat ini, lahan rintisan itu sudah menjadi wilayah desa yang berkembang dan  banyak dihuni pemukiman penduduk tidak hanya warga yang berstatus  eks Tapol melainkan juga dihuni oleh warga sipil lainya yang tidak berstatus eks Tapol. Kemudian, pada tahun 2002 melalui kebijakan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dilakukan pemekaran wilah kabupaten sehingga Desa Argosari ditepakan dan  masuk wilayah administratif  Pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara yang kemudian wilayah itu ditetapkan statusnya dari Desa menjadi Kelurahan. 

         Sebelum  penetapan  wilayah adminstratif menjadi Kelurahan Argosari  nama Desa Argosari memiliki  sejarah panjang yang didasarkan pada  hasil musyawarah yang dilaksanakan masyarakat di camp rehabilitasi pada tahun 1979 maka terciptalah nama Argosari. Nama Argosari sendiri mempunyai unsur filosifi yang mana Argo berarti Gunung karena Desa argosari secara letak geografis bergunung-gunung dengan dikelilingi oleh sungai-sungai yang mengalir menuju laut, serta Sari yang berarti ampas karena warga yang pertama kali ada di desa ini merupakan eks tahanan politik tahun 1965 dimana pada saat itu stigma tentang tapol merupakan warga negara yang sangat hina dan tidak layak hidup di negara Indonesia.

        Dari filosofi nama Argosari yang disematkan sebagai wilayah bermukimnya para warga eks Tapol itu sangat jelas mengandung makna mendalam bagi mereka, seakan menegaskan kembali bahwa mereka merupakan orang-orang yang disingkirkan dan tidak diakui keberadaan nya di negeri ini. Walaupun status kependudukan mereka sudah tidak lagi menyandang eks tapol namun, hal itu belum cukup mengobati rasa kekecwaan yang mereka alami pada saat itu sampai dengan detik ini. Stigma negatif terhadap mereka masih saja disematkan kepada mereka walaupun tidak terpublikasi secara terbuka perlakuan diskriminatif masih mereka alami terutama pemenuhan hak sipil politik yang mereka inginkan sebagai warga negara Indonesia.

           Sejarah kelam ini pasca relokasi pada tahun 1979 seharusnya sudah cukup bagi para warga eks tapol di desa itu merasakan perlakuan diskriminasi, dan sudah seharusnya pula Pemerintah Kabupaten Kukar memberikan perlindungan hukum  dalam setiap aspek kehidupan mereka terutama penghapusan stigma negatif dan pemenuhan hak sipil politik . kepada warga eks tapol agar sama dengan warga lainya sebagaimana didalam konteks persamaan kedudukan setiap warga negara Indonesia di muka hukum. Pemenuhan hak sipil politik, merupakan keinginan yang menjadi harapan mereka saat ini, terlebih diperuntukan bagi anak-anak keturunan para eks tapol karena saat ini, hak sipil politik yang seharusnya mereka peroleh jauh panggang dari api.

          Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh setiap anak-anak keturunan eks  tahanan politik meskipun tidak terpublikasi secara umum namun masih dirasakan misalnya, anak-anak keturunan eks tahanan politik tidak diperbolehkan untuk menikah dengan anggota TNI pelarangan ini dilakukan oleh Kodam Mulawarman kepada seluruh prajuritnya dari jenjang kepangkatan manapun. Jika, terbukti dan ditemukan  terdapat prajurit yang melanggar tentunya akan diberikan sanksi tegas dengan 2 opsi yaitu, tetap melanjutkan menikah dengan anak eks tahanan politik dan dipecat dari kesatuannya atau membatalkan pernikahan dengan anak-anak keturunan warga eks tahanan politik  Kelurahan Argosari.

          Perlakuan dikriminatif lainya yang dialami oleh anak-anak keturunan eks tahanan politik Desa Siaga Kelurahan Argosari Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara juga terjadi didalam birokrasi pemerintahan pada saat anak-anak keturunan eks tahanan politik Kelurahan Argosari Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara mendaftar menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau pegawai honorer di Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) Pemerintahan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Kalaupun terdapat anak-anak keturunan warga eks tahanan politik  yang diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), anak-anak warga eks tahanan politik tersebut secara administrasi kependudukan harus berkorban untuk keluar dari kartu keluarga orang tuanya atau tidak memakai nama orang kandungnya di dalam mendaftar.

           Selain itu, perlakuan diskriminatif yang lebih tidak manusiawi juga pernah terjadi dan dialami salah satu anak eks Tapol lainya yaitu pada saat anak keturunan eks Tapol mendaftarkan diri menjadi anggota kepolisian, padahal anak tersebut telah menyelesaikan proses seleksi syarat masuk menjadi anggota Polri ditingkat daerah, merubah akta kelahiran dan kartu keluarga pun sudah dilakukan. Namun, nasib berkata lain pada pada saat anak tersebut telah mengikuti proses pendidikan yang sudah berjalan itu harus dipulangkan karena ayahnya merupakan mantan eks Tapol yang dituduh terlibat pada gerakan 30 September 1965 dan saat ini masih bermukim di Desa Siaga Kelurahan Argosari Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara.

           Keadaan diskriminasi terhadap pemenuhan hak sipil politik anak-anak keturunan warga eks Tapoldi Desa Siaga Kelurahan Argosasri Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara sangat jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 kemudian,Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan  Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Covenant On Civil And Political Rights) mempertegas hak-hak setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh hak sipil politik sebagaimana dalam konteks hak sipil yaitu kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia. Sementara dalam konteks Hak Politik merupakan hak dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus dijunjung tinggi dan di hormati oleh Negara dalam keadaan apapun.

          Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Jokowi melalui pidato nya didalam konvensi ketatanegaraan sidang paripurna MPRI pada tanggal 14 Agustus 2015 tentang kinerja lembaga-lembaga negara. Dalam pidatonya  juga menyatakan pemerintah akan mengedepankan hak asasi manusia dan  berjanji akan mengusut tuntas setiap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia.  Semoga saja, kebijakan itu bukan hanya sebatas angin segar penyejuk hati sesaat yang nantinya diperoleh warga eks tapol  karena hanya melalui perhatian pemerintah keberadaan hak-hak sipil politik setiap warga eks tapol dapat diwujudkan meskipun stigma negatif masih ada dan dirasakan setidak pemulihan nama baik bagi keturunan mereka menjadi pengharapan disisa hidup warga eks tapol sebagai warga negara indonesia yang sama kedudukanya dimuka hukum dan  harus dilindungi juga keberadaan nya sebagai manusia yang merdeka.




Penulis

Fajrian Noor
(Wakabid Advokasi Hukum)
DPC GMNI Balikpapan















Tidak ada komentar:

Posting Komentar