Hakikat dari Reforma Agraria pada dasarnya merupakan
penataan kembali, struktur pemilikan, penguasaaan dan penggunan
tanah/wilayah demi kepentingan rakyat
kecil seperti, petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah sehingga ,
prinsipnya jelas bahwa tanah untuk penggarap dan makna “agraria” bukan sebatas
“tanah” (kulit bumi) juga bukan sebatas “pertanian” melainkan “wilayah” yang
mewadahi semuanya.
Sedangkan, secara konstitusional UUD NKRI 1945 dalam
Pasal 33 ayat 3 telah memberikan landasan bahwa, bumi dan air serta kekayaaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sehingga, dapat diketahui bahwa kemakmuran masyarakat lah yang menjadi tujuan
utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya.
Kemudian, dipertegas kembali didalam Pasal 1 ayat 1 s/d
5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria yang merumuskan
bahwa, “Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang
terkandung di dalamnya ………!’ Inilah “agrarian”! Selain permukaan bumi, juga
butuh bumi di bawahnya (ayat 4); juga yang berada di bawah air. Dalam
pengertian air, termasuk laut (ayat 5). Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang
di atas bumi dan ruagn di atas air (ayat 6). Demikian pula Pasal 4 ayat 2.[1]
Penegasan
didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria ini.
Menjadi landasan hukum bagi pembentukan Undang-undang sektoral lainya yang
memiliki keterkaitan dengan proses Reforma Agraria seperti, sektor pertanian,
sektor pertambangan, Serta sektor kehutanan.
Namun, keberadaan regulasi ini belum cukup, untuk membenahi persoalan pelik
yang kerap menjadi konflik di masyarakat alih-alih kebijakan pro rakyat justru
faktanya, pemerintah ditingkatan daerah
justru berbalik menggerogoti sumber daya alam untuk kepentingan pribadi
melalui berbagai kebijakan dalam tata kelola sektor agraria.
Padahal,
Land Reform seyogjanya, bertujuan untuk mengubah struktur
masyarakat dari susunan masyarakat warisan stelsel feiodalisme dan kolonialisme
menjadi susunan masyarakat yang lebih adil dan merata sedangakan, tujuan lainya
agar sedapat mungkin rakyat mempunyai asset produksi sehingga lebih produktif
dan pengangguran dapat diperkecil.
Kebijakan Neo-Liberalisasi dan ekonomi internasional melalui kebijakan yang
saat ini dan pernah dijalankan seperti kebijakan GATT/WTO/AFTA/APEC/AOA. Belum
sepenuhnya berjalan dengan maksimal, kegagalan pemerintah secara tegas harus
diterpakan pertanggung jawaban pasalnya, kebijakan tersebut nyatanya tidak pro
dengan rakyat. Terbukti, masih banyaknya penganggugaran serta masyarakat yang
masih hidup dibawah garis kemiskinan.
Disisi lain, Gerakan Reforma Agraria
mempunyai tantangan yang sangat berat
karena sejak orde baru, para petinggi nasional sadar atau tidak sadar
sudah terlanjur terseret kedalam pemikiran neo-liberal, dengan masuk kedalam
komitmen-komitmen politik dan ekonomi internasional seperti
GATT/WTO/AFTA/APEC/AOA bahkan, komitmen tersebut hingga saat ini, berlanjut
dengan adanya kebijakan MP3EI
(Masterplane percepatan Pembangunan Indonesia) yang akan dicanangkan pada tahun
2015.
Pertanyaanya, mampukah
rakyat bersaing menghadapi kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan
prinsip neo riberalisme ditengah
persoalan kemiskinan yang membelit dan apakah
kebijakan itu merupakan tantangan atau sebuah ancaman bagi rakyat? Lantas,
bagaimana kebijakan neo liberalisme ini ditingkatan daerah apalagi Kaltim
menjadi titik wilayah yang akan menjadi bagian dari kebijakan pasar bebas
melalui program MP3EI (Masterplane percepatan Pembangunan Indonesia) apakah
sudah sesuai mengedepankan prinsip Reforma Agraria ?
Kebijakan percepatan pembangunan daerah tidak terlepas
dari penggunaan sumber daya alam agraria. Beragam konsesi diberlakukan
pemerintah pusat maupun ditingkatan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD) dari berbagai sektor yang masuk dalam kategori agraria seperti,
sektor pertambangan, kehutanan dan pertanian. Alih-alih kebijakan, pemerintah
untuk kesejahteraan rakyat namun, dalam pelaksanaannya kerap berbenturan dan menabrak
aturan yang ada.
Semisal, ditingkatan pemerintah daerah pemanfaatan
lahan kerap menjadi persoalan lantaran berorientasi kepentingan tertentu baik
oleh pemangku kebijakan, pemodal asing dan masyarakat meskipun secara gamblang belum
terpublikasikan namun, program pemerintah yang mengacam keberlangsungan sektor
agraria mulai terlihat. Seperti kebijakan pemerintah pusat melalui program MP3I
(master plane percepatan pembangunan Ekonomi indonesia) meskipun, masyarakat
masih menilai positif kebijakan ini, sementara jika ditelaah lebih dalam justru
program ini akan menyengsarakan masyarakat Kaltim khususnya Kota Balikpapan.
Kota Balikpapan merupakan salah satu titik pelaksanaan
kebijakan MP3EI di Kaltim yang akan dicanangkan pada tahun 2015 mendatang
sehingga, Pemerintah Kota Balikpapan sudah pasang badan untuk menyambut program
ini melalui pembangunan Kawasan Industri Kariangau (KIK) yang berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Balikpapan menempatkan kawasan tersebut sebagai pusat Jasa industri minyak dan gas di Balikpapan.
Lantas bagaimana kesiapan Kota Balikpapan untuk
menghadapai kebijakan MP3EI pada tahun
2015 ini apakah masih mengedepankan Reforma Agraria demi keadilan sosial dan
kesejahteraan masyarakat Balikpapan?
Kebijakan Pemerintah Kota Balikpapan, tidak meletakkan
masalah Reforma Agraria sebagai basis pembangunan tanah sejogyanya sebagai salah satu
sumber agraria malahan dijadikan “komoditi strategis”, untuk memfasilitasi
kepentingan pemodal. Berkaca dengan kebijakan, yang saat ini diberlakukan oleh
pemerintah daerah kota Balikpapan dalam penaataan fungsi agraria berdalih
sebagai bentuk kebijakan pemerintah daerah untuk percepatan pembangunaan demi
kesejahteraan rakyat namun, ijin
eksploitasi dan eksplorasi atas lahan tanah pada pelaksanaannya justru menabrak
aturan dan mengenyampingkan fungsi pelestarian lingkungan hidup sehingga,
kebijakan yang kerap diambil justru berdampak pada kerusakan lingkungan yang
merugikan masyarakat walaupun ijin yang diberlakukan sudah ditetapkan namun,
pada implementasinya bertolak belakang dengan tujuan hukum yaitu kepastian,
kemanfaatan dan keadilan.
Selain itu, polemik
juga kerap terjadi terkait fungsi tanah untuk kepentingan masyarakat dikota
Balikpapan, tumpang tindih sertifikat menjadi persoalan pelik yang masih
menjadi polemik berkepanjangan pasalnya, dari presentasi yang terjadi 35 % kasus
pertanahan yang terjadi tidak bisa diselesaikan oleh BPN Balikpapan. Hal ini
sangat jelas bukan tujuan dalam reformasi dibidang agraria lantaran tidak bisa
memberikan jaminan kepastian hukum terhadap status kepemilikan sertifikat hak atas tanah
yang tidak dapat dilakukan proses balik nama lantaran penuh dengan KKN dan
kepentingan oknum-oknum dilembaga-lembaga tersebut untuk memperkaya diri. Padahal,
sangat jelas prinsip tujuan hukum yang meliputi kepastian, keadilan dan
kemanfaatan hukum merupakan cita-cita dalam supermasi hukum di Negara ini.
Menolak kebijakan
MP3EI yang dilaksanakan di Kaltim karena
bertolak belakang dengan prinsip Reforma Agraria.
Kebijakan,
MP3EI barangkali merupakan konsekuensi
warisan masa orde baru pimpinan Presiden Soeharto masa itu dengan slogan
“melaksanakan pancasila dengan murni dan konsekuensi” namun, justru menciptakan
penyimpangan yang melahirkan sejumlah kontradiksi diantaranya, pemerintah kian
sentralistik dan otoriter sehingga kebijakan dibidang ekonomi semakin ramah
terhadap kapitalis internasional (IMF,ADB,Word Bank dan sebagainya), selain itu, fungsi negara
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia justru mengalami
distorsi karena pemberhangusan terhadap hak politik rakyat selaku pemilik
kedaulatan kian kehilangan akses baik terhadap institusi negara maupun atas SDA
yang menjadi sumber penghidupan lantaran kapitalis internasional kian
merajalela mengeruk kekayaan alam.
Ramahnya
negeri ini terhadap kapitalisme kemudian memasuki babak baru melalui Rezim
pemerintahan SBY saat ini, tak ubahnya
rezim neo orde baru yang mengekalkan kapitalisme menilik kebijakan liberalisme
ekonomi sejak pemilu 2004-2009 sangat jelas berorientasi mendukung dan sangat bergantung
dengan pasar bebas terlihat karena ketergantungan Indonesia pada kapitalisme pusat dan tunduk pada mekanisme
pasar bebas. Kebijakan MP3EI yang akan dicanangkan pada tahun 2015 bisa saja
melatarbelakangi ketergantungan tersebut.
Pasar
bebas, melalui kebijakan MP3EI Ini dilakukan sebagai
realisasi dari keinginan para pemimpin Negara ASEAN pada KTT ASEAN di kuala
lumpur Desember 1997 yang memutuskan untuk mentransformasikan ASEAN menjadi
kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat
pembangunan ekonomi yang merata serta kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan
yang semakin berkurang.
Adapun Indikator dampak negatif yang dialami oleh
masyarakat Kaltim dengan adanya pasar bebas kebijakan MP3EI diantaranya;
1. Mematikan sektor Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM) masyarakat lantaran tidak mampu bersaing dengan investor asing.
2. Sistem seleksi tenaga kerja tidak
objektif karena kebijakan ini memberikan peluang kepada tenaga kerja yang
berasal dari negara-negara ASEAN.
3. PHK yang diterima oleh Tenaga
kerja, jika tidak mampu bersaing lantaran SDM dari tenaga kerja asing lebih
mumpuni.
Indikator ini
barangkali, bisa menjadi rujukan bagi Pemerintah Kota Balikpapan untuk
mengutamakan sumber daya manusia (SDM) pekerja pribumi agar mampu bersaing
dalam masyarakat ekonomi ASEAN tersebut sedangkan ketergantungan pemerintah
terhadap kebijakan MP3EI tentunya juga sangat bergantung pada kesiapan dalam
sektor agraria. Mengingat, Kaltim memiliki sumberdaya alam yang melimbah di sektor
pertambangan, sektor kehutanan dan sektor perkebunan barangkali Pemerintah Kota
Balikpapan harus ambil sikap untuk menolak kebijakan pemerintah yang mengekalkan
pasar bebas melalui program MP3EI. Meskipun, Pemerintah Kota Balikpapan saat
ini sudah melakukan persiapan yang matang guna menghadapi kebijakan neo
liberalisasi ekonomi tersebut. Melalui pengembangan Kawasan Industri Kariangau
(KIK) tetap saja belum menjamin sektor agraria dimanfaatkan secara berimbang dan
mengedepankan prinsip pelestarian lingkungan.
Pada dasarnya pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini
merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus
senantiasa memperhatikan keserasian,
keselarasan, dan kesinambungan berbagai unsur pembangunan, termasuk dibidang pertambangan.
Dengan demikian guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional
dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil
berdasarkan Pancasila
dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka perlulah
dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan
ekonomi potensiil dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil.
Lalu, sumber daya alam termasuk
batubara ditegaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
Pasal 33 ayat (3) yang kemudian diwujudkan dalam Pasal 1 poin (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh
tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral
atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pasca tambang”.[2]
Kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan diluar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai
peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan
ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Dengan
mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional pertambangan
mineral dan batubara perlu dikelola dengan sebaik mungkin untuk mencapai tujuan
kesejehteraan dan hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu pengelolaan mineral dan batubara harus secara
mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan,
guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Sektor
pertambangan sejogyanya merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi kedalam strategi pertambangan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan memerlukan adanya prinsip kehati-hatian
yang harus dipegang teguh dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan ketentuan mengenai usaha
pertambangan nasional perlu disempurnakan terutama
yang berkaitan dengan lingkungan
hidup, termasuk di dalamnya
peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan
berskala besar dan atau berisiko tinggi.
Lingkungan
hidup yang sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana
yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 sehingga pertambangan yang dilaksanakan harus berwawasan lingkungan
hal ini seiring dengan semakin menurunnya kwalitas lingkungan yang semakin
mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya sehingga
diperlukannya suatu upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
sungguh-sungguh dan konsisten demi menjamin perikehupan manusia dan mahluk
hidup lainnya.
Penjelasan Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat dipahami bahwa ;”pada dasarnya semua usaha
atau kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan” sehingga
perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat
perkiraan dampak yang penting terhadap lingkungan untuk diketahui secara lebih
rinci dampak negatif dan positif yang akan di timbulkan dari usaha atau
kegiatan tersebut sejak dini sehingga upaya pengendaliannya dapat dipersiapkan
sejak dini dan mengembangkan dampak positifnya. Oleh karena itulah sangat
diperlukannya analisis terhadap Perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar
yang diakibatkan oleh adanya suatu usaha atau kegiatan guna untuk mengendalikan
dampak yang diakibatkan oleh usaha pertambangan.
Dampak yang
penting ditentukan dalam analisis dampak lingkungan dan pengelolaan lingkungan
hidup diantaranya : [3]
1. Besar jumlah
manusia yang akan terkena dampak.
2. Luas wilayah
penyebaran dampak.
3. Lamanya dampak
berlangsung
4. Intensitas
dampak
5. Banyaknya
komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak.
6. Sifat kumulatif
dampak tersebut
7. Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irrevesible) dampak.
Tujuan yang
diharapkan dengan perlunya analisis dampak lingkungan dalam pengelolaan sumber
daya alam khusunya pertambangan agar pemerintah dapat membantu golongan ekonomi
lemah yang bidang usahanya diperkirakan akan menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan serta pemerintah diharapkan dapat membantu menganalisis
dampak lingkungan.
Pada tataran
realitas analisis dampak lingkungan yang merupakan instrumen pengaman
lingkungan untuk masa depan belum berjalan dengan maksimal sebagaimana yang
diamantkan oleh Undang-Undang. Banyaknya pelanggaran dalam pengelolaan sumber
daya alam batubara yang dengan mudah diberikan izin eksplorasi dan eksploitasi
oleh pemerintah sekalipun sudah dijabarkan dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang mengatur tentang kriteria jenis usaha/ atau kegiatan yang
berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan amdal yaitu : “eksploitasi sumber
daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan”. kurangnya
pengetahuan dan pemahaman pemerintah dalam pengelolaan lingkungan serta
tajamnya unsur politik yang mengakibatkan terabaikannya fungsi lingkungan.
Prinsip-prinsip
dasar kebijakan pembangunan hukum lingkungan tersebut dalam prakteknya masih
amat memprihatinkan. Sampai sekarang masih banyak kasus hukum lingkungan yang
menampakkan kecenderungan pengabaian nilai-nilai, hak, kewajiban, peran
masyarakat serta wewenang dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pengelolaan
lingkungan hidup setiap orang belum mempunyai hak yang sama untuk menikmati
lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagai akibat dari kerusakan ekosistem
seperti lingkungan dan kerusakan sumber daya alam.[4]
Otonomi daerah
membuat daerah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak kondusif bagi
pelestarian lingkungan, karena mengejar nilai PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Penambangan Secara besar-besaran terus dilakukan tanpa memperhatikan aspek
kelestraian lingkungan. Berkaca dengan polemik agraria di sektor pertambangan
yang saat ini terjadi dibeberapa kota/kabupaten di Kaltim seperti, Pemberian
izin dalam usaha pertambangan khusunya di wilayah kabupaten Tanah Paser dan
Kabupaten Penajam Paser Utara serta Kota Samarinda sangat memprihatinkan bahkan sebagian besar
pertambangan batubara yang ada di wilayah tersebut tidak memperhatikan
aspek-aspek dalam pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Berdasarkan hal
tersebut di atas menunjukkan lemahnya komitmen penegakan hukum lingkungan
khusunya terhadap pertambangan batubara yang dapat berakibat semakin menurunnya
kwalitas lingkungan yang semakin mengancam kelangsungan hidup manusia dan
mahluk hidup lainnya. Langkah dalam penegakan hukum lingkungan seyogyanya
merupakan langkah yang harus serius dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga
kelestarian fungsi lingkungan antar generasi, kurangnya pengetahuan dan
pemahaman aparat penegak hukum serta tajamnya unsur politik dalam pemberian izin
pertambangan batubara yang merupakan kendala dalam penegakan hukum lingkungan.
Mencermati
langkah antisipatif dengan pola pengembangan dalam usaha pertambangan
sebagaimana yang disebutkan di atas sudah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah
dengan prinsip good mining practice pada
semua tahapan dalam pengelolaan sumber daya pertambangan batubara dengan tujuan
agar tercapainya pemanfaatan sumber daya alam secara berkeseimbangan dengan
tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan. Oleh karena itu tahapan-tahapan
yang perlu dilakukan dalam setiap mengambil keputusan dalam tahapan
pertambangan harus didasarkan pada tiga kriteria yang berbasis pada
permasalahan lingkungan environment
problem dan sosial ekonomi masyarakat disekitar pertambangan seperti:
1.
Perlindungan
hukum dan kepentingan masing-masing pihak.
2.
Potensi
ancaman terhadap hak-hak masyarakat (comunity
rights) yang bersumber dari rusaknya lingkungan hidup dan dampak
lanjutannya.
3.
Potensi
ancaman terhadap masa depan kesejahteraan hidup manusia.[5]
Usaha
pertambangan yang baik dan benar diharapkan mampu membangun peradaban yang
mampu memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah, dan norma-norma yang
tepat sehingga pemanfaatan sumber daya pertambangan batubara dapat memberikan
manfaat yang seoptimal mungkin dan dampak buruk yang seminimal mungkin.
Lantas, bagaimana komitmen Pemerintah
Kota Balikpapan jika Berkaca dengan polemik Agraria yang terjadi di beberapa
Kota/ Kabupaten di Kaltim tersebut?
Berkaca, dengan polemik agraria
didaerah lain dikaltim seperti di Kabupaten Paser, Kota Samarinda dan Kutai
Kertanegara yang memberikan ijin kepada pihak pemodal untuk mengelola
sumberdaya alam di berbagai sektor seperti sektor pertambangan, kehutanan dan
perkebunan tentunya, membuat pemerintah Kota Balikpapan harus berkomitmen agar
tidak sejalan dengan kebijakan pemimpin daerah lainya di Kaltim yang memberikan
keleluasaan melalui pemberian ijin eksploitasi dan eksplorasi kepada pihak
investor atau pemodal untuk menggaruk sumber daya alam yang ada di Provinsi
terbesar di Indonesia ini.
Keresahan publik sangat beralasan
untuk mempertanyakan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kota Balikpapan
bebas pertambangan. Terlebih, pasca masa transisi tampuk kepemimpinan dikursi DPRD
Balikpapan belum dapat menjamin komitmen bebas tambang akan terus berjalan
lantaran, pada tahun 2015 Kaltim akan
menghadapi tantangan liberalisasi ekonomi melalui kebijakan Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) sehingga tidak menutup kemungkinan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam agraria akan dibuka lebih masiif lagi di Kalrim. Sementara,
bagi pemangku kebijakan di daerah, program ini menjadi salah satu upaya
pemerintah daerah untuk dapat
mensejahterakan masyarakatnya. Namun, disisi lain mengorbankan
berbagai aspek seperti keberlangsungan hayati sumber daya alam
Kaltim.
Pertanyaan
nya, mampukah sumber daya alam Kaltim menyokong kebijakan itu, mengingat saat
ini saja pemberlakuan kebijakan oleh Pemerintah daerah untuk pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam di Kaltim kepada pihak investor sudah sedemikian
leluasa. Tak ayal, ketegasan pemangku kebijakan juga patut dipertanyakan dalam
pemberian ijin kelola sumberdaya alam yang ada di Kaltim. Mengingat saat ini
saja, sudah banyak terjadi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh
sektor pertambangan seperti tidak berjalanya sistem jaminan reklamasi tambang.
Sehingga, jangan heran jika dilihat dari citra satelit hutan-hutan diKaltim banyak
yang berlubang dan ditinggalkan begitu saja tanpa ada upaya untuk
merehabilitasi kembali lahan itu melalui reklamasi pasca tambang.
Tidak
berjalanyan jaminan reklamasi tambang dan lubang pasca tambang dibiarkan dan ditinggal begitu
saja, memang bukan perkara baru terjadi di Kaltim sehingga, menjadi cerita lama
yang tidak berkesudahan. Beragam LSM berbasis lingkungan dibentuk sebagai upaya
kontrol untuk mengingatkan pemerintah
daerah agar tidak seenaknya memberikan ijin kepada pihak perusahaan untuk
membuka konsesi diwilayah hutan Kaltim namun, apa daya kebijakan pemerintah daerah
saat ini saja sulit dibendung apalagi menghadapi kebijakan Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) tidak menutup kemungkinan ijin-ijin kuasa pertambangan baru bakal disahkan
oleh pemerintah daerah.
Menghadapi itu, tentunya di kota Balikpapan
juga demikian harus ada upaya preventif untuk menekan kebijakan dalam
memmberikan Ijin usaha eksplorasi dan eksploitasi lahan untuk konsesi
pertambangan. meskipun, saat ini pemerintah Kota Balikpapan masih memegang
teguh komitmen Balikpapan bebas tambang. Lantas, apakah komitmen yang sudah
berjalan ini menjamin dimasa yang akan datang masih terbebas dari pertambangan?
Terlebih, tampuk kepemimpinan kepala daerah pada tahun 2015 ini akan berganti
dan ditahun itu pula kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga sudah
berjalan ?
Jika
mengamati Rencana Tata ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan sudah jelas
tidak menempatkan pembagian wilayah untuk konsesi pertambangan meskipun
demikian lantas tidak menutup kemungkinan pembukaan lahan untuk kuasa
pertambangan juga akan dilakukan. Mengingat, pergantian tampuk kepemimpinan di
legilslatif lalu, pergantian kepala daerah di 2015 mendatang tentunya kebijakan
yang dikeluarkan akan berbeda. Regulasi yang ada saat ini seperti perda RTRW Nomor 12 Tahun 2012 belum dapat sepenuhnya memberikan jaminan
kepastian hukum bagi masyarakat pasalnya, demi kepentingan politis aparatur
pemerintahan daerah tidak segan-segan melakukan pembangkangan dengan melakukan
pembiaran atas pelanggaran terhadap tata ruang yang ada. Terlalu banyak contoh
di Kota Balikpapan lantaran, tata ruang dikembangkan untuk daerah resapan,
daerah hijau dikembangkan menjadi daerah-daerah komersil dengan eksplorasi
lahan untuk industri dan bangunan diatasnya.
Hal ini kemudian bertolak belakang
dengan UU No 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menyatakan bahwa pemerintah
berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup masyarakat
dapat tetap menjadi sumber lain dan penunjang hidup bagi rakyat serta makhluk
hidup lainya. Sedangkan keterkaitanya dengan fungsi ruang wilayah Sebagaimana, penjelasan didalan Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan wilayah Kota
Balikpapan Tahun 2012-2032 Pasal 4 yang menyebutkan, “Tujuan penataan ruang wilayah Kota adalah menjadikan Balikpapan sebagai
kota jasa yang dinamis, selaras dan hijau guna mendukung fungsinya sebagai
Pusat Pertumbuhan Nasional.”
Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2012 menjadi arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah
menjadi pedoman bagi penataan ruang wilayah Kota yang merupakan dasar dalam
penyusunan program pembangunan kawasan strategis kota dan wilayah sehingga
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup Kota Balikpapan program pembangunan terutama untuk berbagai aspek
seperti, aspek ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan selain itu,
pemanfaatan ruang menjadi upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program
beserta pembiayaannya. Berdasarkan hal itu, ketaatan terhadap regulasi yang ada
tentunya, menjadi harapan semua pihak untuk terus berupaya menjaga fungsi ruang
dan sumberdaya alam yang ada di Kota Balikpapan dapat terlaksana serta dapat
diwujudkan secara berkesinambungan begitu juga demikian komitmen bebas tambang semoga
dapat terlaksana tanpa adanya unsur politisasi kebijakan untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok.
Adil dan Sempurna buat
Negeri Indonesia !
Adil dan Sempurna buat
Bangsa Indonesia !
Adil dan Sempurna buat
Marhaen Indonesia !
Penulis
Fajrian Noor
Wakabid 5
Advokasi Hukum DPC GMNI Balikpapan
NB: Grand Isu
Aksi GMNI Balikpapan dalam memperingati Reforma Agraria
[1] Lihat Pasal 1 ayat ( 1 s/d 5)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.
[2] www.plinplan.com;. - tempo
interaktif;. - investor daily;. - buku
Hukum Pertambangan di Indonesia karangan H. Salim HS. Tanggal 4 April 2011.
[4] YLBI, 2007. Panduan bantuan hukum Indonesia, Jakarta: Sentarlisme production,
hlm. 219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar