Minggu, 20 Juli 2014

Eksistensi Hutan Adat Bengkut Kabupaten Penajam Paser Utara Ditinjau dari Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

           Hutan memiliki arti penting dan strategis dalamkehidupan manusia. Hutan merupakan sumber kekayaan alam bagi kehidupan manusia,yang diperuntukan sebagai penyangga kehidupan umat manusia di dunia. Fungsi hutan sebagai sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagikemakmuran rakyat. Seperti dimandatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Dasar hukum pemanfaatan hutan di Indonesia tertumpu pada maknaPasal 33 ayat 3  Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945, pemanfaatan hutan oleh negara dan pemanfaatan hutan oleh masyarakathukum adat.[1]
            Berdasar kanstatusnya hutan di Indonesia terbagi dua: 1) hutan negara dan 2) hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atastanah, sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan disebutkan bahwa hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atastanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.[2]

          Status hutan hanya adadua, maka hutan adat masuk ke dalam hutan negara. hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat  Jadi hutan adat atau hutan ulayat atau hutan marga atau hutan pertuanan atau sebutan lainnya merupakan milik masyarakat hukum adat dan termasuk dalam hutan negara Penjelasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyebutkan, bahwa untuk mengantisipasi perkembanganaspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini, hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yangberada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi
adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasi kekuasaanseluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dandiakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan.[3]
            Masyarakathukum adat didalam hukum nasional adalah sekelompok orang yang hidup secarateratur, tunduk kepada hukumnya sendiri, dan mempunyai organisasi kemasyarakatan sendiri (kepala/ketua masyarakat adat dan pembantu-pembantunya)dan mempunyai harta dan immateriil.[4]Sedangkan, posisi masyarakat hukum adat diakui keberadaannya dalam pemanfaatan dan pengelolaan Hutan Adat, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain. Penjelasan Undang-Undang Nomor 41  Tahun 1999  TentangKehutanan Pasal 67 :[5]
  1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
  2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
  3. Ada wilayah hukum adat yang jelas;
  4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;
  5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
        Di Negara Indonesia keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat  berupa, hutan adat ada yang masih kental ada yang sudah menipis dan ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi,eksistensi hutan adat itu sendiri masih diakui. Hal ini, dapat dilihat darimasih adanya pengakuan terhadap hutan adat yang diatur dalam Pasal 3 Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Tahun 1960, yang menyatakan bahwa:
        “Dengan mengingatketentuan-ketentuan dalam Pasal1 dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu darimasyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan hukum negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”.
        Dengan adanya ketentuan Pasal (3) Undang-UndangNomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria dapat diketahui bahwa, secara hukum hak ulayat ini, diakui sehingga keberadaannya sah menurut hukum. Olehkarena itu, hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang memilikinya. Maria S.W. Sumardjono menyebutkan bahwa: [6] “Eksistensi hak ulayat adalah hal wajar karena hak ulayat masyarakat beserta masyarakat hukum adattelah ada sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Jelaslah bahwa hak ulayat itu diakui dengan pembatasan tertentu, yakni mengenai eksistensi dan pelaksanaannya.

      Pengaturan tentang pengakuan masyarakat hukum adat sebagaimana termuat dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakatdan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengakuan terhadap keberadaan hutan masyarakat hukum adat, juga diakui dalam konstitusi paling utama sebagai kontruksi hak atas sumber daya alam, baik bagi rakyat, masyarakat adat dannegara dikonstruksikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yangmenyatakan bahwa penguasaannegara atas sumber daya alam berasal dari pengangkatan hak ulayat bangsa Indonesia atas bumi, air dankekayaan alam yang ada di dalamnya. Kemudian dari konsepsi itu, negara melalui pemerintah diberikan hak menguasai negara.

      Hak menguasai negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, landasan pengaturan hubungan hukum dengan sumberdaya alam difragmentasi ke dalam berbagai Undang-Undang sektoral seperti  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Jo Peraturan PenggantiUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 Tentang Kehutanan,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, Undang-Undang Nomor 4Tahun 2009 Tentang Pertambangan Batubara, dan Undang-undang Nomor 11 tahun 1974 Tentang Pengairan.

       Pengakuan atas keberadaan hutan masyarakat hukum adat seiring berjalannya waktu, mengalami perkembangan dalam sisi regulasi untuk mengatur dan menghormati keberadaanmasyarakat hukum adat beserta hak-haknya dalam mengelola dan memanfaatkan hutan adat. Diantaranya yaitu, adanya putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor35/PUU-X/2012.  yang mengabulkan sebagian uji materil Undang-Undang Nomor: 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaituKanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tersebut, dengan demikian puluhan juta hektar hutan adat yang tadinya diklaim sebagai hutan negara diakui keberadaannya dan dapatdikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya.[7] 
  
         Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, Nomor 35/PUU-X/2012 telah,   membatalkan sejumlah kata, frasa dan ayat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.Misalnya, Mahkamah Konstitusi menghapus kata “negara” dalam Pasal (1) angka6  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999tentang  Kehutanan, sehingga Pasal (1)angka 6 Undang-Undang Tentang Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” MahkamahKonstitusi juga menafsirkan secara bersyarat Pasal 5 ayat (1) Undang-UndangNomor 9 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sepanjang tidak dimaknai “Hutannegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3), selanjutnya Pasal 4 ayat(3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun1999 Tentang Kehutanan dinyatakan bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan RepublikIndonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai penguasaan hutan olehnegara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

          MahkamahKonstitusi berpendapat harus ada pembedaan perlakuan terhadap hutan negara dan hutan adat, sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan antara hak menguasai Negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur peruntukan,pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan Negara,sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat ini berada dalam cakupan hak ulayat dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat. Penghormatan dan pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adat sebagaimana, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Seharusnya, dapat dijalankan dan ditaati secara menyeluruh oleh pemerintah pusat maupun dilingkup pemerintahan daerah. Seperti, pengakuan Pemerintah Daerah Kabupaten Panajam Paser Utara terhadap eksistensi Hutan Adat Bengkut (Sipung Bengkut) masyarakat adat Paser di Kelurahan Sepan.

Dasar hukum yang kuat untuk mengakomodir eksistensi Hutan Adat Bengkut (SipungBengkut) Kelurahan Sepan Kecamatan Penajam Kabupaten Panajam Paser Utara  telah  ditegaskan dalam Pasal 3Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 TentangPokok-Pokok Agraria, serta ditegaskan kembali, di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Jo Peraturan Pengganti Undang-UndangNomor 1 tahun 2004 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.Sebenarnya dapat membuat masyarakat adat Kelurahan Sepan Kabupaten Penajam Paser Utara, mempunyai hak untuk mempertahankan hutan adat jika memang benar-benar hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) beserta masyarakat adatnya masih ada dan diakui eksistensinya.

        Sebagai hutan yang dikelola oleh masyarakat secara tradisional, hutan adat Bengkut(Sipung Bengkut) tidak terlepas dari berbagai permasalahan. Seperti Masuknya perusahaan PT Balikpapan Flores Industri pada tahun 1969-1970 an, tidak diketahui asalnya masuk kedalam konsesi Hasil Hutan Produksi  (HPH) PT. Balikpapan Flores Industri (BFI) dan diambil kayu nya untuk perusahaan tanpa mengindahkan keberatan masyarakat adat Kelurahan Sepan.  kemudian pada tahun 1996 masyarakat adat Kelurahan Sepan mengirimkan surat keberatan kepada pihak perusahaan untuk segera dibuat kejelasan batas-batas wilayah Desa  masyarakat adat Sepan dengan konsesi perusahaan PT Balikpapan Flores Industri (BFI) tetapi tetap tidak mendapat perhatian. Pada akhirnya terjadi pemekaran Kabupaten Paser menjadi daerah otonom Kabupaten Penajam Paser Utara pada tahun 2003. Dan melalui kebijakan pembagian wilayah sehingga, Kawasan hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) masuk dalam kawasan hutan produksi diwilyah administrasi Kelurahan Sepan . Barulah PTBFI mengakui keberadaan hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut)  sebagai bentuk penghormatan terhadap adat istiadat masyarakat adat setempat. Dengan, menetapkan tapal batas untuk tidakmengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan dikawasan hutan adat Bengkut(Sipung Bengkut). Permasalahan lainya yang saat ini, masih sering terjadi diwilayah hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) adalah  Penebangan liar masalah ini sangatdiperhatikan oleh masyarakat adat Kelurahan Sepan. 

 Penebangan liar yang beroperasi dikawasan hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) adalah penduduk desa lain yang jugapendatang dari lain pulau. Para Penebang biasanya beroperasi didaerah sekitar hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) yang berupa belukar muda dan relatif lebih dekat ke tepi jalan untuk memudahkan pengangkutan. Untuk mendapatkan kayu para penebang melakukan pendekatan dengan masyarakat adat  Sepan dengan cara membeli kayu hidup atau meminta kayu mati atau pohon yang mati karena sebab yang alami.Tetapi, pada prakteknya mereka selalu mengambil lebih dari perjanjian yang telah disepakati. Dengan mengambil lebih, berarti luas areal yang dilakukan penebangan juga bertambah, tidak hanya di area perkebunan tapi juga di area hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut). Meskipun para penebang liar mengetahui bahwa area hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) terlarang bagi kegiatan penebangan. Para penebang liar tetap mencoba sampai kegiatan merekan mendapatteguran dari kepala adat.

        Selain itu, Pengakuan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara terhadap eksistensihutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) secara defacto didasarkan hanya atas adanya masyarakat adat dan kelembagaan adat bukan didasarkan atas hak ulayat adat istiadat masyarakat adat Sepan yaitu,hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut). Menjadi, permasalahan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat adat Sepan. Sebab, belum adanya pengakuan secara de jure melalui penetapan surat ketetapan maupun Regulasi khusus berupa peraturan daerah. Mengancam, eksistensi hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) sebagai hak ulayat dan warisan adatistiadat masyarakat adat Kelurahan Sepan yang harus dijaga dan dilindungi kelestariannya. Penetapan wilayah Konservasi Budidaya Kehutanan (KBK) merupakan program Kementerian Kehutanan yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara dan menempatkan hutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) kedalam konsesi kawasan Konservasi Budidaya Kehutanan (KBK) menjadi bukti belum adanya ithikatbaik Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara dalam mengakui eksistensihutan adat Bengkut (Sipung Bengkut) sebagai warisan adat istiadat dan kearifanlokal yang harus dilindungi keberadaanya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara.[8]

          
[1]Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat AdatDalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta, 2006, hlm. 43
[2] Ibid.hlm. 44
[3] Diakses dari: http://nenytriana.wordpress.com/2012/05/07/hutan-adat/Tanggal 13 September 2013, pukul 22.00 WITA

[4]Maria Kaban, 2004Keberadaan Hak Masyarakat Adat atas Tanah diTanah Karo,Hukum UniversitasSumatera Utara. Medan, hlm. 67.
[5] Ibid,. hlm 68
[6]Maria Soemardjono, Kebijakan PertanahanAntara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 54.
[7]Diakses dari:  http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/18893-mk-dan-hutan-adat.html,pada tanggal 16 September 2013, Pukul20.00 Wita.



[8]Wawancara dengan Ibu Norma,  Anak dariKepala Adat generasi ke 9 Masyarakat Adat Paser Adang Desa Sepan , Pada Tanggal24 April 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar