Minggu, 31 Agustus 2014

Apakah karena sistem Patriarki yang mengekang posisi perempuan?

DUNIA, politik dan  keterwakilan perempuan didalam parlemen, memiliki keterkaitan satu sama lain. Jaminan, keterwakilan perempuan untuk terlibat dalam politik sudah  diberikan pemerintah sebanyak 30 persen jumlah quota kursi yang di sediakan di parlemen.Namun, apakah syarat 30 persen jumlah keterwakilan yang seharusnya diisi oleh perempuan sudah tercapai ?

            Syarat 30 persen,  porsi keterwakilan perempuan di dalam  parlemen belum sepenuhnya tercapai. Dari data yang disampaikan salah seorang Pengamat Politik , Siti Musdah Mulia yang menyoal masalah perempuan dan pernah dimuat di salah satu media cetak. Mengatakan saat ini, jumlah anggota parlemen perempuan hanya 11 persen itupun tidak merata. Selama ini, perempuan yang duduk di parlemen seperti di DPD misalnya, didominasi istri dari para pejabat seperti Gubernur dan Bupati.

            Lantaran, mereka memiliki fasilitas, mereka mepunyai dana dan memiliki jaringan birokrasi yang baik. Padahal disatu sisi, kualitas dan kredibilitas mereka juga patut dipertanyakan. Coba bandingkan, berapa banyak perempuan cerdas dan berkualitas di Negeri ini. Namun, tidak mempunyai dana serta tidak memiliki jaringan birokrasi yang baik, akses mereka masuk ke Parlemen tidak semudah seperti  istri-istri para pejabat seperti Gubernur dan Bupati.
 
Seharusnya, pemerintah berperan aktif untuk memikirkan bagaimana mendorong agar perempuan bisa tampil minimal 30 persen diranah politik. Tanpa, melihat latar belakangnya, 11 persen quota kursi di parlemen sudah jelas menggambarkan bahwa presiden SBY tidak berperan dalam mendorong peran perempuan untuk ikut terlibat dalam politik. Alhasil, syarat 30 persen wakil perempuan di parlemen tidak tercapai.
Ada persepsi, yang menyatakan bahwa budaya Patriarki yang telah lama berakar dan mendarah daging di Negeri ini.  Menjadi penyebab minimnya porsi keterwakilan perempuan,di parlemen. Paradigma miring, cenderung mengarah terhadap perempuan karena perbedaan kodrat dan posisi perempuan dibawah pengampuan laki-laki. Dominasi pengaruh kaum laki-laki, terkesan menjadi penyebab minimnya porsi keterwakilan perempuan di ranah politik. Jika, presiden SBY memang penganut sistem Patriarki seharusnya SBY bisa lebih bijak, untuk tidak menyangkut pautkan budaya Patriarki dengan sistem perpolitikan di Negara ini. Dorongan kuat agar perempuan itu benar-benar tampil minimal 30 persen diranah politik sepertinya tidak difikirkan oleh SBY secara serius buktinya, 30 persen keterwakilan perempuan tidak tercapai. Artinya, SBY masih menjunjung Patriarki dalam Politik Indonesia terutama untuk posisi keterwakilan perempuan di parlemen.
            Jika, memang sistem Patriarki yang membatasi ruang gerak keterwakilan perempuan diranah politik serta budaya patiarki itu salah. Saya, coba mengutip  refrensi dari sebuah buku. Untuk mendalami pengaruh sistem Patriarki di negeri ini. Apakah dapat diintrepretasikan di ranah politik. Salah satunya konsep, pemahaman patriarki menurut Soekarno didalam buku “Sarinah”, menjelaskan bahwa perempuan yang bebas merdeka dan bekerja seperti laki-laki tidak bisa dihindarkan pasti akan merindukan kodratnya sebagai isteri dari suami dan ibu dari anak-anaknya.
Walaupun antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, namun perbedaan tersebut hanya terbatas pada kodrat saja. Tidak benar, jika ada pendapat bahwa laki-lakilah yang harus memimpin dan menjadi tokoh, sementara perempuan hanya bertugas sebagai perempuan dapur saja, karena pembedaan itu bukanlah pembedaan yang didasarkan pada kodrat melainkan pada kecongkakan kaum laki-laki.

Namun bagaimana jika diranah politik? Perbedaan yang dilandasi pada kodrat seharusnya tidak menjadi jurang pemisah antar perempuan dan laki-laki didalam urusan politik. Perempuan juga punya hak yang sama seperti kaum laki-laki. Hal ini, juga ditegaskan didalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia didalam pasal 28D ayat (3) menyebutkan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Sementara, hal yang sama juga ditegaskan kembali didalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 49 ayat (1) menyebutkan,“Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan”.

            Pengakuan Negara atas keterlibatan perempuan dalam urusan politik sudah sangat jelas dan tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, persoalan patriarki yang dilandasi dari perbedaan kodrat antara kaum laik-laki dengan perempuan bisa diselesaikan jika memang, persoalan budaya Patriarki menjadi sebab 30 persen porsi keterwakilan perempuan di parlemen tidak tercapai. Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa, dominasi kaum laki-laki didalam perpolitikan di Negara ini. Memiliki andil besar, namun, tidak serta-merta posisi perempuan  dikesampingkan lantaran budaya Patriarki atau hukum Perbapaan, berdasarkan kodrat kaum laki-laki jauh lebih dominan karena memiliki hak pengampuan atas perempuan. Meskipun, tidak dipungkiri kodratnya perempuan sebagai isteri dan mengurus anak. Kaum perempuan juga memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin dan duduk di parlemen.

Penulis: Fajrin Noor

Masuk Tribun Kaltim/Tribunners edisi 25 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar