Minggu, 31 Agustus 2014

Tanah dan keberadaan Masyarakat Adat



Dusun Pampang Desa Pondong Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser.

Tanah memiliki arti penting dan strategis dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan sumber utama kehidupan manusia, seperti untuk usaha pertanian, perkebunan, dan pertambangan, selain itu tanah bernilai ekonomi tinggi bagi manusia. Persoalan tanah  seringkali menjadi penyebab konflik antar manusia. Sejarah penjajahan di Indonesia pada hakikatnya adalah sejarah penguasaan tanah. Sejak kongsi dagang Vereenigde Oostindisce Compagnie (VOC) yang berganti. Pemerintahan Belanda, menguasai nusantara, telah diterapkan sistem hukum pertanahan yang dikenal dengan Agrarische Wet. Sistem ini berlaku pada tahun 1870-an dan mengatur masa penggunaan tanah oleh pemegang hak pakai tanah. Saat itu kepemilikan atas tanah ada di tangan pemerintah, yang peruntukkan tanahnya dikategorikan sebagai milik pribadi dan milik peruntukan usaha.[1]
            Agrarische Wet 1870 merupakan perbaikan dari kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda. Meskipun, merupakan perbaikan, esensinya tetap masih menguntungkan pemerintah kolonial. Sebagai gambaran semangat Agrarische Wet 1870 ternyata tidak jauh berbeda dengan semangat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang cenderung tidak berpihak kepada rakyat kecil. Terkait dengan hal-hal yang mengatur tentang tanah, UUPM membatasi semangat yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), terutama berkaitan dengan masa penggunaan tanah.
Ada (lima) permasalahan tanah yang sering terjadi (mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria), yaitu:
  1. Persoalan yang menyangkut fungsi sosial atas tanah (Pasal 6)
  2. Jangka waktu atas batas maksimum kepemilikan tanah (Pasal 7);
  3. Penguasaan dan kepemilikan tanah guntai (Pasal 10);
  4. Hak monopoli atas tanah (Pasal13);
  5. Penetapan ganti rugi tanah (Pasal 18).
            Kelima persoalan tanah tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, memicu konflik atau sengketa pertanahan di masyarakat. Konflik semakin pelik seiring dengan tingginya tingkat kebutuhan masyarakat akan tanah dan pembangunan yang sering melupakan faktor keadilan kepemilikan hak atas tanah. Praktek fungsi sosial atas tanah, seperti tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA), masih sering keliru ditafsirkan dalam praktek di masyarakat. Fungsi sosial tanah berarti hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya apalagi kalau hal tersebut merugikan orang lain atau masyarakat yang menguasai. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) mengenai batas umum kepemilikan tanah juga sering dilanggar dalam praktek di masyarakat.
            Pemicu konflik tanah biasanya muncul dari perbedaan cara pandang dan kepentingan antara mayoritas rakyat yang membutuhkan tanah sebagai sumber utama kehidupan dan pihak lain yang membutuhkan tanah untuk kegiatan ekonomi secara besar. Pemodal atau perorangan yang ingin menguasai hak atas tanah diuntungkan oleh pilihan kebijakan ekonomi yang condong kepada pertumbuhan daripada pemerataan ekonomi yang pro rakyat. Atas nama pembangunan, tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh pemodal atau perorangan yang ingin menguasai hak atas tanah. Perlakuan diskriminatif dilakukan untuk dapat menguasai kepemilikan tanah yang sejogyannya telah menjadi hak dan sumber penghasilan serta tempat tinggal bagi petani dan masyarakat adat dirampas untuk kepentingan pemilik modal sehingga berakibat pada tindak pidana yang dilakukan oleh pemilik modal. 

             Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam Pasal 28D ayat (1) juga menyebutkan bahwa, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Negara hukum yang diartikan negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar hukum tertulis yang tertinggi diantara dasar hukum tertulis lainnya di Indonesia. Dengan adanya Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini jelas mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum maka dalam setiap perilaku maupun tindakan warga Indonesia haruslah berdasarkan hukum dan sadar akan hukum.

            Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini. Demikian penegasan hak dasar dan perlakuan hukum yang adil terhadap setiap manusia, yang tertuang dalam Pasal 7 Universal Declaration Of Human Rights. Konsensus internasional inilah kemudian yang menjadi pedoman umum di setiap negara. Pada hakekatnya hukum merupakan pencerminan dari jiwa dan pikiran rakyat, hukum bagi setiap negara, terutama bagi pemegang kekuasaan dalam negara, untuk menjalankan tugas dan wewenangnya harus mendasarkan pada prinsip norma-norma hukum yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis. di samping sebagai pengendalian sosial (social control), penyelesaian sengketa (dispute settlement), dan perekayasaan sosial (social engineering).[2]
            Perlindungan hukum ditegakan untuk pengendalian sosial dan perekayasaan sosial untuk dapat mengikat dan memaksa dilakukan oleh pemerintah terhadap warga negara dalam setiap aspek kehidupan menjadi sesuatu yang penting dalam melihat hubungan antara negara dan warga negaranya. Negara sebagai organisasi kekuasaan memiliki kewenangan dalam merumuskan tata hubungan negara dan warga negara sebagai bagian dalam upaya memberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap warganya termasuk masyarakat yang mendiami tanah ulayat masyarakat adat harus ditegakkan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

             Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Serta pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Kemudian, di dalam Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa, semua orang sama didepan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi.
            Di Negara Indonesia keberadaan hak Ulayat ini ada yang masih kental, ada yang sudah menipis dan ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi eksistensi tanah ulayat itu sendiri masih diakui. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya pengakuan terhadap tanah ulayat yang diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang mengukuhkan dan menyatakan:
            “Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi”.
            Dengan adanya ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria disebutkan diatas dapat diketahui bahwa secara hukum hak ulayat ini diakui sehingga keberadaanya sah menurut hukum. Oleh karena itu hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang memilikinya.
            Pengakuan hak Ulayat dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria menjadi dasar yang kuat bagi kelompok masyarakat adat untuk menguasai dan mengatur serta memanfaatkan tanah-tanah Ulayatnya. Sebagaimana, Maria S.W. Sumardjono menyebutkan:
            Eksistensi hak ulayat adalah hal yang wajar karena hak ulayat masyarakat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus Tahun 1945. Jelaslah bahwa hak ulayat itu diakui dengan pembatasan tertentu, yakni mengenai eksistensinya dan pelaksanaanya”.[3]
            Penduduk masyarakat hukum adat di Dusun Pampang Desa Pondong Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser mempunyai Tanah Ulayat yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Dasar Hukum yang kuat terdapat didalam Undang-undang Pokok-pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tentang keberadaan hak Ulayat, sebenarnya dapat membuat masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk mempertahankan tanah ulayat jika memang benar-benar masyarakat hukum adat itu masih ada dan diakui eksistensinya. Oleh karena itu, jika ada pihak lain yang ingin menggunakan tanah adat, harus melalui pelepasan adat sesuai dengan ketentuan adat suku yang menguasai tanah ulayat tersebut.
Masyarakat hukum adat, yang menempati tanah ulayat kerap mengalami perlakuan diskriminasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam pengolahan tanah ulayat, pembakaran tempat tinggal milik masyarakat  serta perlakuan diskriminasi dan intimidasi yang dialami menjadikan bahwa perlunya perlindungan hukum selalu ditegakan oleh pemerintah terhadap masyarakat  adat yang mendiami tanah ulayat, untuk kepentingan tempat tinggal dan untuk bertahan hidup.
            Tindakan pembakaran rumah warga yang terjadi di Dusun Pampang Desa Pondong Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser sebagai bentuk tindakan untuk penguasaan tanah ulayat, membuktikan bahwa lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam mengelola serta memanfaatkan tanah ulayat milik masyarakat adat. Dengan hubungan hak atas tanah ulayat dengan hak-hak perseorangan ada pengaruh timbal balik antara hak ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya  atas tanah tersebut. Misalnya tanah yang diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi tersebut diakui kembali menjadi hak ulayat.[4]
            Peraturan yang berlaku didalam hukum positif jelas melindungi hak-hak masyarakat adat, bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi tindakan diskriminasi terhadap pemukiman masyarakat adat yang berdiri di tanah hak ulayat di bakar dengan tujuan pengambilan hak atas tanah ulayat.
            Tindakan pembakaran rumah masyarakat di atas tanah ulayat masyarakat Dusun Pampang Desa Pondong Kabupaten Paser, jelas merupakan tindak pidana sebagaimana tercantum didalam KUHP Pasal 406 ayat (1) yang menyebutkan:
barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum menghancurkan, merusakan, membuat sehingga tak dapat dipakai lagi atau menghilangkan barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah”, serta dalam ayat (2) “pidana itu juga dijatuhkan kepada orang, yang dengan sengaja dan dengan melawan hukum membunuh, merusak, membuat sehingga tidak dapat di pakai lagi atau menghilangkan hewan, yang sama sekali atau  sebagian kepunyaan orang lain.”
            Praktek-praktek perlindungan hukum pidana terhadap  pengakuan bersyarat serta kecenderungan pemerintah tidak mendorong upaya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat merupakan upaya untuk mendelegitimasi terhadap hukum adat, sehingga keberadaan sistem hukum dalam masyarakat hukum adat berada dalam situasi hegemoni kelompok berkuasa yaitu pemerintah dan kelompok pemilik modal, sehingga akan memudahkan pemerintah dalam memaksakan kepentinganya, mengendalikan masyarakat, mempermudah pemerintah dalam mengatasi konflik pemerintah dan pemilik modal dengan masyarakat yang mendiami tanah ulayat.[5]
            Perlindungan hukum bagi masyarakat adat merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. merupakan tujuan dari hukum memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Didalam perlindungan hak asasi manusia negara, wajib memberikan perlindungan hak asasi manusia dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokrasi. 
            Negara hukum yang menjunjung demokrasi merupakan negara yang diselengarakan berdasarkan kehendak rakyat. Seperti, memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap semua warga negaranya termasuk bagi masyarakat yang bermukim di atas tanah ulayat, seperti masyarakat Dusun Pampang Desa Pondong Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser yang bermukim diatas tanah ulayat . Negara hukum dalam konteks ini, diwajibkan untuk memberikan perlindungan hukum atas eksistensi keberadaan tanah ulayat serta pengrusakan dan pembakaran 4 rumah dan 2 pemondokan milik masyarakat Dusun Pampang Desa Pondong  Kabupaten Paser dan tindakan diskriminasi serta intimidasi yang dialami masyarakat Dusun Pampang Desa Pondong Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser, tidak mencerminkan persamaan dihadapan hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.


Penulis : Fajrian Noor
Mahasiswa Fakultas Hukum Uniba Tingkat Akhir.
Nb: Latar Belakang Skripsiku



                [1] A. Patra M. Zein, 2009, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia,  Jakarta: Sentralisme Production, hlm. 198.
[2] Sri Sumantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, hlm. 47.
[3] Maria Soemarjono, Kebijakan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 54
                [4]  http://id.shvoong.com/law-and-politics/1954099-hukum-agraria-indonesia/>diakses pada tanggal 12 April tahun 2012, Pukul 15.00 Wita

[5] Antonio Gramsci dalam Nezar Patria dan Andi Arief, 1999, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar