Minggu, 31 Agustus 2014

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)


Mempersatukan Keberagaman Etnis Untuk terwujudnya Kaltim Kondusif 

Kalimantan Timur, merupakan Provinsi terbesar di Indonesia, memiliki luas 10% dari luas wilayah Indonesia yaitu, 245.237,8 Km2 atau 24.523.780 Ha. Propinsi yang ditopang oleh kekayaan sumber daya alam melimpah di berbagai sektor. Seperti, Batu bara, Gas bumi dan perkebunan kelapa sawit. Menjadikan, Propinsi Kalimantan Timur “lahan basah” bagi pemilik modal, dan investor lokal maupun dari berbagai Negara untuk memanfaatkan sumber daya alam di Propinsi Ini. Kekayaan sumber daya alam di Propinsi Kaltim, tidak menjamin Kaltim benar-benar kondusif dengan jumlah penduduk sekitar 3,4 Juta jiwa (Sensus Penduduk 2011) juga memiliki potensi konflik. 

Konflik terjadi, tidak hanya berdasarkan pada pengelolaan dan pemanfaatan hasil sumber daya alam semata, lantaran kebijakan pemerintah daerah yang dinilai tebang pilih. Sementara, dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tebang pilih melalui kebijakan pemerintah daerah tidak menutup kemungkinan kemudian memicu konflik mengatasnamakan agama, ras dan golongan. Seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini di propinsi Kaltim. Selain itu. Terkait  tapal batas wilayah, tanah, kebodohan dan kemiskinan juga menjadi indikator potensi konflik di Kaltim.
Terkait persoalan potensi konflik tersebut saya coba, melakukan riset sederhana melalui browsin media internet. Dari data yang akses, hasil pemetaan potensi konflik sosial menurut pendataan Polda Kaltim, tercatat sebanyak 199 potensi konflik ada di wilayah ini. Secara keseluruhan terbagi dari berbagai jenisnya seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya (Ipoleksosbud) sebanyak 109 kasus. Kemudian 16 kasus SARA, terkait sumber daya alam terdapat 54 kasus dan kasus batas wilayah telah dipetakan sebanyak 20 kasus. Untuk  peringkat pertama paling banyak konflik di daerah Kabupaten Kukar dengan 67 kasus Ipoleksosbud, satu kasus SARA, kasus SDA sebanyak enam dan dua kasus batas wilayah. Kasus-kasus ini timbul dari arus bawah yang menyebar secara luas. Contoh beberapa kasus SARA lebih mengedepankan emosi sesaat tetapi akibatnya meluas karena bersinggungan satu sama lainya.[1]
Kemudian saya mengakses kembali di internet untuk mencari perbandingan data, dari Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Tidak jauh berbeda, pendapat serupa, juga disampaikan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menyebutkan, isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) masih rentan terjadi di Kaltim. Isu ini menjadi pontensi paling tinggi kerawanan sosial di masyarakat. Kepala Dinas Sosial Provinsi Kaltim, Farida, menjelaskan, pihaknya kini terus memetakan bencana sosial di masyarakat termasuk daerah mana saja yang rawan.Pemetaan daerah rawan bencana sosial dilakukan di lima Kabupaten dan Kota di Kaltim yakni Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Paser, Kabupaten Kutai Barat.[2]
Penduduk Kaltim yang sangat beragam suku dan etnisnya memiliki potensi konflik sosial yang tinggi di berbagai sektor. Selain itu masalah tumpang tindih kepemilikan lahan, konflik tapal batas, masalah kemiskinan, kebodohan, tenaga kerja dan lain-lain. masalah pemerintahan juga turut menyumbang kemungkinan konflik jika pemerintah daerah kurang memperhatikan kondisi masyarakatnya. Pertikaian antar etnis yang sewaktu-waktu terjadi, memang sulit untuk dicegah. Terlebih, Propinsi Kaltim merupakan Propinsi yang dihuni oleh Multi etnis. Dari data, Departemen Agama Kaltim yang saya akses pada 15 Desember 2013  mencatat, jumlah peduduk berdasarkan sensus penduduk 2011 sekitar 3,4 Juta Jiwa. Serta terdiri dari berbagai suku ras dan agama, adapun jumlah prosentasinya sebagai berikut :[3]

Demografi Kalimantan Timur

No
Suku Bangsa
Prosentasi
Keterangan
1.
Jawa
29,55 %

2.
Bugis (Sulawesi)
18,26 %

3.
Banjar
13,94 %

4.
Dayak
9,91 %

5.
Kutai
9,21 %

6.
Lainya
19,13 %






Jumlah Penduduk Kalimantan Timur
Menurut Golongan Agama

No
Agama
Jumlah
%
1.
Islam
2.902.279

82,63

2.
Kristen
362.546
10,32
3.
Khatolik
192.555
5,48
4.
Hindu
26,903
0,77
5.
Budha
19,866
0,57
6.
Konghucu
1.928

0,05

7.
Lainya
6,244

0,18

Jumlah

3.512.321

100


Adanya keberagaman suku ras agama dan golongan yang  berbeda-beda di Indonesia khususnya  di Wilayah Kalimantan Timur. Memang sangat menimbulkan konflik. Seperti gesekan-gesekan kecil dari kelompok atau golongan tertentu yang mengatasnamakan agama  dan kedaerahan. Sulit untuk dicegah, lantaran perbedaan cara pandang masyarakat. Sehingga isu SARA paling mudah berkembang dan dapat menyulut konflik di Kaltim. Apalagi, potensi konflik kerap dipicu oleh kelompok atau golongan tertentu yang mengatasnamakan ras dan agama.  Walaupun disatu sisi Negara menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana amanah dan ditegaskan didalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian pula, terkait persoalan kerukunan umat beragama juga ditegaskan melalui. Kebijakan, yang dikeluarkan oleh pemerintah, melalui peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006. Yang pada intinya mengatur tentang Kerukunan Umat Beragama. Sebenarnya, peraturan menteri ini merupakan respon dari perkembangan kehidupan beragama di Negara Indonesia. Namun, secara implementasi cenderung diintepretasikan berbeda.

Kebebasan berserikat dan berkumpul bukan berarti, melegalkan prilaku premanisme di masyarakat. Lantaran, memposisikan diri sebagai penduduk asli daerah, meskipun kelompok organisasi kedaerahan memiliki visi dan misi untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai dan budaya kearifan lokal. Namun, dalam perkembanganya tidak sejalan dengan  paradigma berfikir masyarakat, yang menilai adanya kelompok atau golongan tertentu yang mengatasnamakan agama dan suku. Malah bertindak selayaknya preman yang terorganisir lantaran, bernaung dibawah bendera kelompok-kelompok atau golongan itu.
Untuk itu, sejogyanya keberadaan kelompok  atau golongan yang mengatasnamakan   suku dan agama dapat membantu pemerintah daerah menjaga kondusifitas serta bersama-sama menjaga budaya kearifan lokal di Kaltim yang ada dan lahir secara turun temurun. bukan seperti yang terjadi saat ini, fungsi kelompok atau golongan yang mengatasnamakan suku dan agama  malah cenderung ikut terlibat menyulut konflik dimasyarakat.

Sejauh apa penerapan Otonomi Daerah untuk meredam Konflik SARA ?
Berkaca dengan, apa yang telah terjadi di Kaltim serta, perlunya untuk menjaga keutuhan NKRI dengan meminimalisir jumlah konflik kesukuan, dan agama. Jika memang, Dipandang perlu untuk, membuat suatu kebijakan yang dapat diterima semua pihak baik dari pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat untuk merumuskan sebuah kebijakan dalam hal pembentukan otonomi daerah yang bersifat sinergis dengan masyarakat yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemenya seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol sosial masyarakat.

Pelaksanaan Otonomi daerah idealnya merupakan suatu upaya untuk mempertahankan Kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkanya kebijakan ini diharapkan dapat meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI, terutama bagi daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI. Namun, disatu sisi adanya kebijakan otonomi daerah juga berpotensi menyulut konflik antar daerah. Konflik yang dimaksud disini adalah konflik kepentingan serta hal-hal yang terkait dengan pemekaran daerah, sumber daya alam termasuk juga mengenai perbatasan atau tapal batas.
Sebagaimana dijelaskan didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 ayat (5) menyebutkan, pengertian Otonomi daerah , adalah Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahanya dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangakan, menurut kamus Wikipedia otonomi daerah adalah kewenangan daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya kewenangan penuh yang dimiliki daerah otonom, untuk mensejahterakan masyarakatnya serta meredam kemungkinan, terjadinya konflik yang berbau suku, ras golongan dan agama di Kaltim, melalui, penetapan sebuah kebijakan otonomi maupun kebijakan peraturan-peraturan lainya tentunya menjadi perhatian semua pihak. Dalam hal ini, bukan hanya berlaku bagi pemerintah daerah sebagai penentu kebijakan. Melainkan, juga perlunya disikapi oleh setiap golongan, baik tokoh agama, tokoh politik, tokoh adat dan masyarakat luas. Jika tidak, percuma saja adanya kebijakan otonomi maupun penatapan peraturan untuk meredam konflik SARA akan terasa hambar dan tidak memiliki pengaruh jika tidak ditaati.
Menjaga persatuan NKRI dengan mencegah terjadinya konflik yang berbau suku, ras dan agama merupakan harga mati, yang menjadi tanggung jawab seluruh warga Negara Indonesia. Dengan metode apapun, baik melalui kebijakan dan peraturan atau menumbuhkan rasa Nasionalisme terhadap bangsa dan Negara atau Nasionalisme kedaerahan tidak menjadi persoalan asalkan, tetap dalam koridornya untuk kesejahtraan bangsa dan Negara.
Sebab, menjaga keutuhan NKRI dengan beragam permasalahan yang ada bukan perkara mudah. Terbukti, isu-isu SARA di Kaltim ditingkatan masyarakat yang dipicu oleh kelompok atau golangan yang mengatasnamakan suku dan agama . masih rentan menyulut terjadinya konflik dan masih menyimpan potensi konflik sosial yang sangat besar dimasyarakat.[4]

Penulis
Fajrian Noor
Wakil Ketua FKPAA Kaltim


[1] Diakses dari: www. Tribunnews.com Balikpapan,edisi 16 April 2013
[2] Diakses dari: www. Sindonews.com edisi 5 Desember 2013
[3] Diakses dari data :Workshop Peningkatan Wawasan Multikultural  Bagi Penyuluh Agama Oleh : Drs. H. Ahmad Ridani, MM. Kepala Bagian Tata Usaha  Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2012


[4] Artikel ini, merupakan karya tulis saya. Ketika ingin mengikuti sayembara menulis ilmiah yang diadakan ketua AKAPSI Indonesia Isran Noor. Namun, lantaran kesibukan pekerjaan yang tidak dapat saya tinggalkan, artikel ini, hanya tersimpan rapi di laptop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar