Minggu, 31 Agustus 2014

Posisi perempuan di sektor pertambangan.


Dibutuhkan karena upah murah atau kebutuhan biologis ?

            Peran serta perempuan dalam pengolahan sumber daya alam di Kalimantan Timur. Sejogyanya menjadi perhatian pemerintah untuk memberikan porsi keterwakilan bagi perempuan Terutama dalam pengelolaan sumber daya alam di sektor pertambangan. Dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengakomodir keterlibatan perempuan hanya 1,2 % presentasi dari jumlah perusahaan tambang yang berdiri dikalimantan timur.
Stereotype peran serta perempuan yang terbangun di sektor pertambangan selalu mendeaskriditkan posisi perempuan. Anggapan bahwa perempuan memiliki perbedaan fisik jauh lebih lemah daripada laki-laki yang dipekerjakan di sektor pertambangan menjadi persepsi mutlak yang tidak dapat dirubah. Perempuan yang dipekerjakan di sektor pertambangan dianggap perempuan lebih teliti dan hati-hati. Karena hal itu mayoritas pekerja perempuan yang memiliki sumber daya manusia yang memadai dalam sektor pertambangan di pekerjakan di bagian administrasi.

Sementara, bagi perempuan yang tidak memiliki sumberdaya manusia yang memadai, tidak ditempatkan dalam posisi yang layak ketika bekerja di sektor pertambangan. Perlakuan Diskriminasi terhadap pekerja perempuan di sektor pertambangan masih kerap dialami. Terutama bagi pekerja perempuan diposisi pekerja harian lepas tambang karungan yang banyak dijumpai di berbagai perusahaan tambang di Kalimantan Timur. Pemberian standarisasi upah bagi pekerja perempuan yang berstatus pekerja harian lepas tambang karungan memang sama dengan pekerja laki-laki namun, upah tersebut tidak sesuai dengan resiko keselamatan jiwa ketika bekerja yang kerap terjadi bagi pekerja perempuan lepas tambang karungan, ditambah lagi minimnya jaminan kesehatan dan perlindungan keselamatan kerja yang diberikan perusahaan pertambangan mengakibatkan posisi perempuan semakin termarjinalkan.
Padahal jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan berdasarkan pasal (5) menyatakan secara tegas persamaan kesempatan kerja tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Selain itu, ditegaskan kembali di dalam di pasal 32 ayat (1) penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Artinya, peran serta pekerja perempuan jika merujuk pada ketentuan UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Barang tentu, dalam pelaksanaanya tidak boleh dikesampingkan hak-haknya sebagai pekerja.
Permasalahan semakin pelik dialami perempuan dilokasi pertambangan, tidak hanya dalam aspek pengolahan sumber daya alam di sektor pertambangan. Kebijakan investasi dalam Pengolahan sumber daya alam di bidang pertambangan mendorong munculnya praktek prostitusi. Sehingga, posisi peran serta perempuan kian hari semakin termarjinalkan lantaran,praktek-praktek prostitusi di sektor pertambangan yang melibatkan perempuan sebagai objek seksualitas kian menjamur. Hampir disetiap Lokasi pertambangan di Provinsi Kalimantan Timur terdapat lokasi prostitusi, perempuan diperkerjakan di warung-warung kopi yang menawarkan pelayanan “esek-esek”. Meskipun, tidak dapat dinafikan bahwa muculnya praktek prostitusi di berbagai lokasi pertambangan selain untuk kebutuhan biologis. Dampak dari minimnya sumber daya manusia yang memadai, mengakibatkan sulitnya perempuan di lokasi pertambangan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lantaran, kebutuhan ekonomi yang setiap tahunya semakin meningkat. Sehingga, memaksa posisi perempuan untuk terjun didalam praktek-praktek prostitusi dilokasi pertambangan.

Seharusnya diskriminasi yang dialami oleh perempuan di lokasi pertambangan baik dalam hal, keterwakilan posisi perempuan untuk turut serta dalam pengolahan sumber daya alam. Maupun, posisi perempuan dalam praktek-praktek prostitusi itu, seharusnya dapat dicegah dan diminimalisir keberadaannya. Tentu, dengan kebijakan-kebijakan yang preventif dari pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur. Dengan, tolak ukur persamaan hak bagi setiap warga Negara Indonesia untuk menjamin perlakuan yang sama antara warga negara yang satu dan yang lainya tanpa memperdulikan latar belakangnya. Sebagaimana, penegasan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia  menyebutkan, “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan umum”. Serta ditegaskan kembali didalam Konvenan Hak Sipil Politik pasal 6 ayat (1) menyebutkan, “Setiap manusia mempunyai hak hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara-sewenang-wenang”.

Kekayaan sumber daya alam di sektor pertambangan yang melimpah dengan kandungan penuh harta karun yang dimiliki provinsi Kalimantan timur dengan luas wilayah Kalimantan timur 10% dari luas wilayah Indonesia yaitu, 245.237,8 Km2 atau 24.523.780 Ha. Justru tidak menempatkan posisi perempuan sebagai warga Negara Indonesia dengan persamaan hak perlakuan dan perlindungan yang sama dengan laki-laki. Keberadaan perusahaan tambang di provinsi Kalimantan timur pada prinsipnya mengancam perempuan baik peran produktif maupun peran reproduktifnya. Ancaman terhadap peran reproduktif perempuan berarti ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Pada hakikatnya, perempuan diyakini sejak lama sebagai penjaga kelangsungan hidup manusia dan pemelihara keluarga. Jika, permasalahan yang dialami perempuan di sektor pertambangan tidak segera disikapi serius oleh pemerintah provinsi kalimantan  timur. Tentunya, perlakuan diskriminasi yang terjadi akan sulit diselesaikan, apalagi untuk meminimalisir praktek-praktek prostitusi yang terjadi di sektor pertambangan barang tentu jauh panggang dari api.

Penulis : Fajrian Noor
Mahasiswa Fakultas Hukum




Tidak ada komentar:

Posting Komentar