Minggu, 31 Agustus 2014

MASYARAKAT ADAT, BUKAN MASYARAKAT MARGINAL







            Eksistensi masyarakat adat, seiring perkembangan zaman mulai dikesampingkan oleh pemerintah. Terutama, pegakuan atas hak-hak adat yang dimiliki masyarakat adat. Meskipun, beragam dukungan dan upaya dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat yang konsen dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Namun, tidak serta merta permasalahan yang berkaitan dengan pengakuan hak-hak masyarakat adat dapat terselesaikan secara maksimal.

Kurang arib nya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk melindungi eksistensi masyarakat adat. Terutama dalam kebijakan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam yang berada dikawasan masyarakat adat. Semakin memarjinalkan keberadaan masyarakat adat. padahal disisi lain, masyarakat adat juga memiliki, hak-hak adat yang diatur dalam norma-norma adat tidak tertulis tetapi melekat dan dipatuhi oleh masyarakat adat. 

Seperti misalnya, keberadaan masyarakat adat di Kaltim, beragam persepsi mulai dari, tokoh politik, akademisi, aktivis, hingga peneliti hukum adat. Menyatakan bahwa keberadaan masyarakat adat di Kaltim hanya tinggal sebagian saja, yang masih diakui keberadaanya sedangkan, bagi masyarakat adat yang masih mengakui masyarakatnya sebagai masyarakat adat. namun tidak diakui oleh pemerintah daerah lantaran, keberadaan masyarakat adat dinilai pemerintah daerah sudah tidak lagi memenuhi unsur-unsur yang menguatkan keberadaan masyarakat adat seperti unsur territorial/wilayah maupun unsur garis keturunan/ geneologis. Meskipun, unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, pemerintah daerah tidak serta-merta menafikan keberadaan masyarakat adat yang ada dan masih tersisa. 

Terlebih, ketika pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan, untuk program pecepatan pembangunan dengan membuka ruang bagi investor untuk mengelola hutan dikawasan masyarakat adat. Seharusnya, pemerintah daerah juga mengakomodir keberadaan masyarakat adat. Terutama porsi keterwakilan masyarakat adat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam hutan dikawasan masyarakat adat. meskipun dilain pihak, keterbatasan SDM yang dimiliki oleh masyarakat adat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan masih menjadi kendala. 

Pengakuan atas eksistensi masyarakat adat tidak hanya diatur didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara ini. Melalui Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan diatur pula didalam  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Melainkan, juga menjadi perhatian dunia internasional. Dengan di sah kan nya, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan rekomendasi yang dibuat Komisi PBB untuk Eliminasi Diskriminasi rasial dan rekomendasi tentang penduduk asli, mewajibkan kepada seluruh pihak untuk mengakui dan melindungi masyarakat hukum Adat dengan segala hak-hak dan wilayah tradisionalnya dan larangan perampasan hak-hak dan wilayah masyarakat hukum adat dengan alasan apapun kecuali disetujui oleh masyarakat hukum adat tersebut dan disertai kompensasi yang pantas, adil dan tepat.

Penegasan dunia internasional, kemudian menjadi dasar ratifikasi sejumlah undang-undang di negara ini. Untuk mengakomodir pengakuan masyarakat adat beserta hak-haknya untuk mengelola sumberdaya alam. Semakin menguatkan eksistensi keberadaan masyarakat adat, kemudian Ditambah lagi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 35/PUU-X/2012. mengenai hutan adat yang membatalkan sejumlah ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat dalam Undang-undang  Nomor 41 tahun 1999  tentang Kehutanan. memberikan, angin segar bagi komunitas masyarakat adat.

Sebagaimana, kita ketahui berdasarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 telah menyatakan “kata negara dalam dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, maka Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. demikian juaga Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan harus dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.
Adanya, penegasan dunia Internasional melalui, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dan Undang-undang Dasar 1945, serta putusan mahkamah konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. mengenai hutan adat yang membatalkan sejumlah ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat dalam Undang-undang  Nomor 41 tahun 1999  tentang Kehutanan. semakin memantapkan eksistensi keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak kearifan lokalnya. tinggal, bagaimana hari ini pemerintah daerah menjalankan dan mentaati aturan-aturan tersebut. 

Selain menjalankan aturan-aturan yang ada pemerintah daerah juga harus mencari jalan penyelesaian wind – solution. Untuk menyelesaikan permasalahan sehingga konflik yang melibatkan Pemerintah daerah dengan masyarakat adat tidak terjadi. Semisal, pemerintah daerah ingin memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam di kawasan masyarakat adat. dapat mengedepankan mekanisme pelepasan adat menurut aturan hukum adat yang berlaku didalam komunitas masyarakat adat tersebut. Sehingga, pencapaian penyelesaian melalui mekanisme pelepasan adat yang telah disepakati anatara kedua belah pihak baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat adatnya itu sendiri. Tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
Disatu sisi, Pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk dapat mensejahterakan seluruh masyarakatnya dengan menjalankan berbagai program percepatan pembangunan. Barang tentu, persoalan menyangkut hak-hak masyarakat adat juga harus menjadi fokus perhatian dan tidak boleh dikesampingkan oleh pemerintah daerah. Sehingga, paradigma masyarakat adat tidak lagi dianggap sebagai masyarakat marginal. Walaupun, secara kiteria masyarakat hukum adat tidak lagi bisa dikatakan sebagai masyarakat adat. pemerintah daerah, harus berfikir arib dan bijaksana untuk memberikan hak pengakuan terhadap masyarakat adat. baik, melalui peraturan yang lebih spesifik lagi seperti peraturan daerah maupun peraturan-peraturan lainya, yang menyesuaikan kebutuhan suatu daerah kabupaten/ kota. 

Karena, dengan adanya peraturan yang lebih spesifik lagi, mengatur hak-hak masyarakat adat sebagai bentuk penghormatan pemerintah daerah terhadap budaya kearifan lokal yang lahir secara turun temurun dan ditaati masyarakat adat sebagai norma dan aturan tertinggi diatas peraturan perundang-undangan yang ada. Namun, tidak tertulis, tetapi mengikat bagi satu kesatuan masyarakat adat yang berdiam disuatu kawasan yang memiliki sumber daya alam untuk dikelola dan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah.[1]

Penulis
Fajrian Noor
4 Desember 2013


[1] Catatan  ini pernah dimuat di. Tribunners/ Tribun Kaltim edisi 4 Desember 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar