![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-zO1JGl9YkquhIT6A1UH5E5C7I6CU7xGbLwznHTJJUvgffhs_PUxPSWx3E8ldMCyQNKQJ9oGH5nuiZxWlRJF29h0xUQZ6408JZ7jwE-vQ5YaGzt_VgHX5xJepqv2OBQE5n0Trut015XY/s1600/lukis+(18).jpg)
Syarat
30 persen, porsi keterwakilan perempuan di dalam parlemen belum
sepenuhnya tercapai. Dari data yang disampaikan salah seorang Pengamat Politik
, Siti Musdah Mulia yang menyoal masalah perempuan dan pernah dimuat di salah
satu media cetak. Mengatakan saat ini, jumlah anggota parlemen perempuan hanya
11 persen itupun tidak merata. Selama ini, perempuan yang duduk di parlemen
seperti di DPD misalnya, didominasi istri dari para pejabat seperti Gubernur
dan Bupati.
Lantaran,
mereka memiliki fasilitas, mereka mepunyai dana dan memiliki jaringan birokrasi
yang baik. Padahal disatu sisi, kualitas dan kredibilitas mereka juga patut
dipertanyakan. Coba bandingkan, berapa banyak perempuan cerdas dan berkualitas
di Negeri ini. Namun, tidak mempunyai dana serta tidak memiliki jaringan
birokrasi yang baik, akses mereka masuk ke Parlemen tidak semudah seperti
istri-istri para pejabat seperti Gubernur dan Bupati.
Seharusnya, pemerintah
berperan aktif untuk memikirkan bagaimana mendorong agar perempuan bisa tampil
minimal 30 persen diranah politik. Tanpa, melihat latar belakangnya, 11 persen
quota kursi di parlemen sudah jelas menggambarkan bahwa presiden SBY tidak
berperan dalam mendorong peran perempuan untuk ikut terlibat dalam politik.
Alhasil, syarat 30 persen wakil perempuan di parlemen tidak tercapai.
Ada persepsi, yang
menyatakan bahwa budaya Patriarki yang telah lama berakar dan mendarah daging
di Negeri ini. Menjadi penyebab minimnya porsi keterwakilan perempuan,di
parlemen. Paradigma miring, cenderung mengarah terhadap perempuan karena
perbedaan kodrat dan posisi perempuan dibawah pengampuan laki-laki. Dominasi
pengaruh kaum laki-laki, terkesan menjadi penyebab minimnya porsi keterwakilan
perempuan di ranah politik. Jika, presiden SBY memang penganut sistem Patriarki
seharusnya SBY bisa lebih bijak, untuk tidak menyangkut pautkan budaya
Patriarki dengan sistem perpolitikan di Negara ini. Dorongan kuat agar
perempuan itu benar-benar tampil minimal 30 persen diranah politik sepertinya
tidak difikirkan oleh SBY secara serius buktinya, 30 persen keterwakilan perempuan
tidak tercapai. Artinya, SBY masih menjunjung Patriarki dalam Politik Indonesia
terutama untuk posisi keterwakilan perempuan di parlemen.
Jika,
memang sistem Patriarki yang membatasi ruang gerak keterwakilan perempuan
diranah politik serta budaya patiarki itu salah. Saya, coba mengutip
refrensi dari sebuah buku. Untuk mendalami pengaruh sistem Patriarki di negeri
ini. Apakah dapat diintrepretasikan di ranah politik. Salah satunya konsep,
pemahaman patriarki menurut Soekarno didalam buku “Sarinah”, menjelaskan
bahwa perempuan yang bebas merdeka dan bekerja seperti laki-laki tidak bisa
dihindarkan pasti akan merindukan kodratnya sebagai isteri dari suami dan ibu
dari anak-anaknya.
Walaupun antara
perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, namun perbedaan tersebut hanya
terbatas pada kodrat saja. Tidak benar, jika ada pendapat bahwa laki-lakilah
yang harus memimpin dan menjadi tokoh, sementara perempuan hanya bertugas
sebagai perempuan dapur saja, karena pembedaan itu bukanlah pembedaan yang
didasarkan pada kodrat melainkan pada kecongkakan kaum laki-laki.
Namun bagaimana jika
diranah politik? Perbedaan yang dilandasi pada kodrat seharusnya tidak menjadi
jurang pemisah antar perempuan dan laki-laki didalam urusan politik. Perempuan
juga punya hak yang sama seperti kaum laki-laki. Hal ini, juga ditegaskan
didalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia didalam pasal
28D ayat (3) menyebutkan, “Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Sementara, hal yang sama
juga ditegaskan kembali didalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 49 ayat (1) menyebutkan,“Wanita berhak untuk memilih,
dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan
persyaratan dan peraturan perundang-undangan”.
Pengakuan
Negara atas keterlibatan perempuan dalam urusan politik sudah sangat jelas dan
tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, persoalan patriarki
yang dilandasi dari perbedaan kodrat antara kaum laik-laki dengan perempuan
bisa diselesaikan jika memang, persoalan budaya Patriarki menjadi sebab 30
persen porsi keterwakilan perempuan di parlemen tidak tercapai. Disisi lain,
tidak dapat dipungkiri bahwa, dominasi kaum laki-laki didalam perpolitikan di
Negara ini. Memiliki andil besar, namun, tidak serta-merta posisi
perempuan dikesampingkan lantaran budaya Patriarki atau hukum Perbapaan,
berdasarkan kodrat kaum laki-laki jauh lebih dominan karena memiliki hak
pengampuan atas perempuan. Meskipun, tidak dipungkiri kodratnya perempuan
sebagai isteri dan mengurus anak. Kaum perempuan juga memiliki hak yang sama
untuk menjadi pemimpin dan duduk di parlemen.
Penulis: Fajrin Noor
Masuk
Tribun Kaltim/Tribunners edisi 25 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar