Eksistensi masyarakat adat, seiring
perkembangan zaman mulai dikesampingkan oleh pemerintah. Terutama, pegakuan
atas hak-hak adat yang dimiliki masyarakat adat. Meskipun, beragam dukungan dan
upaya dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat yang konsen dalam
memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Namun, tidak serta merta permasalahan
yang berkaitan dengan pengakuan hak-hak masyarakat adat dapat terselesaikan
secara maksimal.
Kurang arib nya
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk melindungi eksistensi
masyarakat adat. Terutama dalam kebijakan untuk memanfaatkan dan mengelola
sumber daya alam yang berada dikawasan masyarakat adat. Semakin memarjinalkan
keberadaan masyarakat adat. padahal disisi lain, masyarakat adat juga memiliki,
hak-hak adat yang diatur dalam norma-norma adat tidak tertulis tetapi melekat
dan dipatuhi oleh masyarakat adat.
Seperti misalnya,
keberadaan masyarakat adat di Kaltim, beragam persepsi mulai dari, tokoh
politik, akademisi, aktivis, hingga peneliti hukum adat. Menyatakan bahwa
keberadaan masyarakat adat di Kaltim hanya tinggal sebagian saja, yang masih
diakui keberadaanya sedangkan, bagi masyarakat adat yang masih mengakui
masyarakatnya sebagai masyarakat adat. namun tidak diakui oleh pemerintah
daerah lantaran, keberadaan masyarakat adat dinilai pemerintah daerah sudah
tidak lagi memenuhi unsur-unsur yang menguatkan keberadaan masyarakat adat
seperti unsur territorial/wilayah maupun unsur garis keturunan/ geneologis.
Meskipun, unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, pemerintah daerah tidak
serta-merta menafikan keberadaan masyarakat adat yang ada dan masih tersisa.
Terlebih, ketika
pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan, untuk program pecepatan pembangunan
dengan membuka ruang bagi investor untuk mengelola hutan dikawasan masyarakat
adat. Seharusnya, pemerintah daerah juga mengakomodir keberadaan masyarakat
adat. Terutama porsi keterwakilan masyarakat adat dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam hutan dikawasan masyarakat adat. meskipun dilain
pihak, keterbatasan SDM yang dimiliki oleh masyarakat adat dalam mengelola dan
memanfaatkan hutan masih menjadi kendala.
Pengakuan atas
eksistensi masyarakat adat tidak hanya diatur didalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dinegara ini. Melalui Undang-Undang Dasar tahun
1945 dan diatur pula didalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Melainkan, juga menjadi perhatian dunia
internasional. Dengan di sah kan nya, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan rekomendasi yang
dibuat Komisi PBB untuk Eliminasi Diskriminasi rasial dan rekomendasi tentang
penduduk asli, mewajibkan kepada seluruh pihak untuk mengakui dan melindungi
masyarakat hukum Adat dengan segala hak-hak dan wilayah tradisionalnya dan
larangan perampasan hak-hak dan wilayah masyarakat hukum adat dengan alasan
apapun kecuali disetujui oleh masyarakat hukum adat tersebut dan disertai
kompensasi yang pantas, adil dan tepat.
Penegasan dunia internasional, kemudian menjadi dasar ratifikasi sejumlah
undang-undang di negara ini. Untuk mengakomodir pengakuan masyarakat adat beserta
hak-haknya untuk mengelola sumberdaya alam. Semakin menguatkan eksistensi
keberadaan masyarakat adat, kemudian Ditambah lagi dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi MK Nomor 35/PUU-X/2012. mengenai hutan adat yang membatalkan
sejumlah ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat dalam Undang-undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. memberikan, angin segar bagi
komunitas masyarakat adat.
Sebagaimana, kita
ketahui berdasarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 telah menyatakan “kata
negara dalam dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan demikian, maka Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat”. demikian juaga Pasal 4 ayat (3)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan harus dimaknai “penguasaan
hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.
Adanya, penegasan dunia
Internasional melalui, Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dan Undang-undang
Dasar 1945, serta putusan mahkamah konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. mengenai hutan adat yang membatalkan
sejumlah ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat dalam Undang-undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. semakin memantapkan eksistensi
keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak kearifan lokalnya. tinggal,
bagaimana hari ini pemerintah daerah menjalankan dan mentaati aturan-aturan
tersebut.
Selain menjalankan
aturan-aturan yang ada pemerintah daerah juga harus mencari jalan penyelesaian wind – solution. Untuk menyelesaikan
permasalahan sehingga konflik yang melibatkan Pemerintah daerah dengan
masyarakat adat tidak terjadi. Semisal, pemerintah daerah ingin memanfaatkan
dan mengelola sumberdaya alam di kawasan masyarakat adat. dapat mengedepankan
mekanisme pelepasan adat menurut aturan hukum adat yang berlaku didalam
komunitas masyarakat adat tersebut. Sehingga, pencapaian penyelesaian melalui
mekanisme pelepasan adat yang telah disepakati anatara kedua belah pihak baik
dari pemerintah daerah maupun masyarakat adatnya itu sendiri. Tidak menimbulkan
permasalahan dikemudian hari.
Disatu sisi, Pemerintah
daerah memiliki kewenangan penuh untuk dapat mensejahterakan seluruh
masyarakatnya dengan menjalankan berbagai program percepatan pembangunan.
Barang tentu, persoalan menyangkut hak-hak masyarakat adat juga harus menjadi
fokus perhatian dan tidak boleh dikesampingkan oleh pemerintah daerah.
Sehingga, paradigma masyarakat adat tidak lagi dianggap sebagai masyarakat
marginal. Walaupun, secara kiteria masyarakat hukum adat tidak lagi bisa
dikatakan sebagai masyarakat adat. pemerintah daerah, harus berfikir arib dan
bijaksana untuk memberikan hak pengakuan terhadap masyarakat adat. baik,
melalui peraturan yang lebih spesifik lagi seperti peraturan daerah maupun
peraturan-peraturan lainya, yang menyesuaikan kebutuhan suatu daerah kabupaten/
kota.
Karena, dengan adanya
peraturan yang lebih spesifik lagi, mengatur hak-hak masyarakat adat sebagai
bentuk penghormatan pemerintah daerah terhadap budaya kearifan lokal yang lahir
secara turun temurun dan ditaati masyarakat adat sebagai norma dan aturan
tertinggi diatas peraturan perundang-undangan yang ada. Namun, tidak tertulis,
tetapi mengikat bagi satu kesatuan masyarakat adat yang berdiam disuatu kawasan
yang memiliki sumber daya alam untuk dikelola dan dimanfaatkan oleh pemerintah
daerah.[1]
Penulis
Fajrian Noor
4 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar