Mempersatukan Keberagaman Etnis Untuk terwujudnya
Kaltim Kondusif
Kalimantan Timur,
merupakan Provinsi terbesar di Indonesia, memiliki luas 10% dari luas wilayah
Indonesia yaitu, 245.237,8 Km2 atau 24.523.780 Ha. Propinsi yang ditopang oleh
kekayaan sumber daya alam melimpah di berbagai sektor. Seperti, Batu bara, Gas
bumi dan perkebunan kelapa sawit. Menjadikan, Propinsi Kalimantan Timur “lahan
basah” bagi pemilik modal, dan investor lokal maupun dari berbagai Negara untuk
memanfaatkan sumber daya alam di Propinsi Ini. Kekayaan sumber daya alam di
Propinsi Kaltim, tidak menjamin Kaltim benar-benar kondusif dengan jumlah
penduduk sekitar 3,4 Juta jiwa (Sensus Penduduk 2011) juga memiliki potensi
konflik.
Konflik terjadi, tidak
hanya berdasarkan pada pengelolaan dan pemanfaatan hasil sumber daya alam
semata, lantaran kebijakan pemerintah daerah yang dinilai tebang pilih.
Sementara, dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tebang pilih
melalui kebijakan pemerintah daerah tidak menutup kemungkinan kemudian memicu
konflik mengatasnamakan agama, ras dan golongan. Seperti yang terjadi beberapa
tahun belakangan ini di propinsi Kaltim. Selain itu. Terkait tapal batas wilayah, tanah, kebodohan dan
kemiskinan juga menjadi indikator potensi konflik di Kaltim.
Terkait persoalan
potensi konflik tersebut saya coba, melakukan riset sederhana melalui browsin
media internet. Dari data yang akses, hasil pemetaan potensi konflik
sosial menurut pendataan Polda
Kaltim, tercatat sebanyak 199 potensi konflik
ada di wilayah ini. Secara keseluruhan terbagi dari berbagai jenisnya seperti
ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya (Ipoleksosbud) sebanyak 109
kasus. Kemudian 16 kasus SARA, terkait sumber daya alam terdapat 54 kasus dan
kasus batas wilayah telah dipetakan sebanyak 20 kasus. Untuk peringkat
pertama paling banyak konflik di daerah Kabupaten Kukar dengan 67
kasus Ipoleksosbud, satu kasus SARA, kasus SDA sebanyak enam dan dua kasus
batas wilayah. Kasus-kasus ini timbul dari arus bawah yang menyebar secara
luas. Contoh beberapa kasus SARA lebih mengedepankan emosi sesaat tetapi
akibatnya meluas karena bersinggungan satu sama lainya.[1]
Kemudian saya mengakses
kembali di internet untuk mencari perbandingan data, dari Dinas Sosial Provinsi
Kalimantan Timur (Kaltim). Tidak jauh berbeda, pendapat serupa, juga
disampaikan Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menyebutkan, isu
SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) masih rentan terjadi di Kaltim. Isu
ini menjadi pontensi paling tinggi kerawanan sosial di masyarakat. Kepala Dinas
Sosial Provinsi Kaltim, Farida, menjelaskan, pihaknya kini terus memetakan
bencana sosial di masyarakat termasuk daerah mana saja yang rawan.Pemetaan
daerah rawan bencana sosial dilakukan di lima Kabupaten dan Kota di Kaltim
yakni Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten
Paser, Kabupaten Kutai Barat.[2]
Penduduk Kaltim yang
sangat beragam suku dan etnisnya memiliki potensi konflik sosial yang tinggi di
berbagai sektor. Selain itu masalah tumpang tindih kepemilikan lahan, konflik
tapal batas, masalah kemiskinan, kebodohan, tenaga kerja dan lain-lain. masalah
pemerintahan juga turut menyumbang kemungkinan konflik jika pemerintah daerah
kurang memperhatikan kondisi masyarakatnya. Pertikaian antar etnis yang
sewaktu-waktu terjadi, memang sulit untuk dicegah. Terlebih, Propinsi Kaltim
merupakan Propinsi yang dihuni oleh Multi etnis. Dari data, Departemen Agama
Kaltim yang saya akses pada 15 Desember 2013
mencatat, jumlah peduduk berdasarkan sensus penduduk 2011 sekitar 3,4
Juta Jiwa. Serta terdiri dari berbagai suku ras dan agama, adapun jumlah
prosentasinya sebagai berikut :[3]
Demografi Kalimantan Timur
No
|
Suku
Bangsa
|
Prosentasi
|
Keterangan
|
1.
|
Jawa
|
29,55 %
|
|
2.
|
Bugis (Sulawesi)
|
18,26 %
|
|
3.
|
Banjar
|
13,94 %
|
|
4.
|
Dayak
|
9,91 %
|
|
5.
|
Kutai
|
9,21 %
|
|
6.
|
Lainya
|
19,13 %
|
|
Jumlah Penduduk Kalimantan Timur
Menurut Golongan Agama
No
|
Agama
|
Jumlah
|
%
|
1.
|
Islam
|
2.902.279
|
82,63
|
2.
|
Kristen
|
362.546
|
10,32
|
3.
|
Khatolik
|
192.555
|
5,48
|
4.
|
Hindu
|
26,903
|
0,77
|
5.
|
Budha
|
19,866
|
0,57
|
6.
|
Konghucu
|
1.928
|
0,05
|
7.
|
Lainya
|
6,244
|
0,18
|
Jumlah
|
3.512.321
|
100
|
Adanya keberagaman suku
ras agama dan golongan yang berbeda-beda
di Indonesia khususnya di Wilayah
Kalimantan Timur. Memang sangat menimbulkan konflik. Seperti gesekan-gesekan kecil
dari kelompok atau golongan tertentu yang mengatasnamakan agama dan kedaerahan. Sulit untuk dicegah, lantaran
perbedaan cara pandang masyarakat. Sehingga isu SARA paling mudah berkembang
dan dapat menyulut konflik di Kaltim. Apalagi, potensi konflik kerap dipicu
oleh kelompok atau golongan tertentu yang mengatasnamakan ras dan agama. Walaupun disatu sisi Negara menjamin
kebebasan setiap warga negaranya untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana
amanah dan ditegaskan didalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Demikian pula, terkait
persoalan kerukunan umat beragama juga ditegaskan melalui. Kebijakan, yang
dikeluarkan oleh pemerintah, melalui peraturan bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006. Yang pada intinya mengatur tentang
Kerukunan Umat Beragama. Sebenarnya, peraturan menteri ini merupakan respon
dari perkembangan kehidupan beragama di Negara Indonesia. Namun, secara
implementasi cenderung diintepretasikan berbeda.
Kebebasan berserikat
dan berkumpul bukan berarti, melegalkan prilaku premanisme di masyarakat.
Lantaran, memposisikan diri sebagai penduduk asli daerah, meskipun kelompok
organisasi kedaerahan memiliki visi dan misi untuk menjaga dan melestarikan
nilai-nilai dan budaya kearifan lokal. Namun, dalam perkembanganya tidak
sejalan dengan paradigma berfikir
masyarakat, yang menilai adanya kelompok atau golongan tertentu yang
mengatasnamakan agama dan suku. Malah bertindak selayaknya preman yang
terorganisir lantaran, bernaung dibawah bendera kelompok-kelompok atau golongan
itu.
Untuk itu, sejogyanya
keberadaan kelompok atau golongan yang
mengatasnamakan suku dan agama dapat
membantu pemerintah daerah menjaga kondusifitas serta bersama-sama menjaga
budaya kearifan lokal di Kaltim yang ada dan lahir secara turun temurun. bukan
seperti yang terjadi saat ini, fungsi kelompok atau golongan yang
mengatasnamakan suku dan agama malah
cenderung ikut terlibat menyulut konflik dimasyarakat.
Sejauh
apa penerapan Otonomi Daerah untuk meredam Konflik SARA ?
Berkaca dengan, apa
yang telah terjadi di Kaltim serta, perlunya untuk menjaga keutuhan NKRI dengan
meminimalisir jumlah konflik kesukuan, dan agama. Jika memang, Dipandang perlu
untuk, membuat suatu kebijakan yang dapat diterima semua pihak baik dari
pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat untuk merumuskan
sebuah kebijakan dalam hal pembentukan otonomi daerah yang bersifat sinergis
dengan masyarakat yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan
elemen-elemenya seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi
manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol sosial
masyarakat.
Pelaksanaan Otonomi
daerah idealnya merupakan suatu upaya untuk mempertahankan Kesatuan Negara
Indonesia, karena dengan diterapkanya kebijakan ini diharapkan dapat meredam
daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI, terutama bagi daerah-daerah
yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI.
Namun, disatu sisi adanya kebijakan otonomi daerah juga berpotensi menyulut
konflik antar daerah. Konflik yang dimaksud disini adalah konflik kepentingan
serta hal-hal yang terkait dengan pemekaran daerah, sumber daya alam termasuk
juga mengenai perbatasan atau tapal batas.
Sebagaimana dijelaskan
didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1
ayat (5) menyebutkan, pengertian Otonomi daerah , adalah Hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahanya dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangakan, menurut kamus Wikipedia otonomi daerah adalah kewenangan daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya
kewenangan penuh yang dimiliki daerah otonom, untuk mensejahterakan
masyarakatnya serta meredam kemungkinan, terjadinya konflik yang berbau suku,
ras golongan dan agama di Kaltim, melalui, penetapan sebuah kebijakan otonomi
maupun kebijakan peraturan-peraturan lainya tentunya menjadi perhatian semua
pihak. Dalam hal ini, bukan hanya berlaku bagi pemerintah daerah sebagai
penentu kebijakan. Melainkan, juga perlunya disikapi oleh setiap golongan, baik
tokoh agama, tokoh politik, tokoh adat dan masyarakat luas. Jika tidak, percuma
saja adanya kebijakan otonomi maupun penatapan peraturan untuk meredam konflik
SARA akan terasa hambar dan tidak memiliki pengaruh jika tidak ditaati.
Menjaga persatuan NKRI
dengan mencegah terjadinya konflik yang berbau suku, ras dan agama merupakan
harga mati, yang menjadi tanggung jawab seluruh warga Negara Indonesia. Dengan
metode apapun, baik melalui kebijakan dan peraturan atau menumbuhkan rasa
Nasionalisme terhadap bangsa dan Negara atau Nasionalisme kedaerahan tidak
menjadi persoalan asalkan, tetap dalam koridornya untuk kesejahtraan bangsa dan
Negara.
Sebab, menjaga keutuhan NKRI dengan beragam
permasalahan yang ada bukan perkara mudah. Terbukti, isu-isu SARA di Kaltim
ditingkatan masyarakat yang dipicu oleh kelompok atau golangan yang
mengatasnamakan suku dan agama . masih rentan menyulut terjadinya konflik dan
masih menyimpan potensi konflik sosial yang sangat besar dimasyarakat.[4]
Penulis
Fajrian Noor
Wakil Ketua FKPAA Kaltim
[1] Diakses dari: www. Tribunnews.com
Balikpapan,edisi 16 April 2013
[2]
Diakses dari: www. Sindonews.com edisi 5 Desember 2013
[3] Diakses dari data :Workshop Peningkatan Wawasan Multikultural Bagi Penyuluh Agama Oleh : Drs. H. Ahmad
Ridani, MM. Kepala Bagian Tata Usaha
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2012
[4] Artikel ini, merupakan karya
tulis saya. Ketika ingin mengikuti sayembara menulis ilmiah yang diadakan ketua
AKAPSI Indonesia Isran Noor. Namun, lantaran kesibukan pekerjaan yang tidak
dapat saya tinggalkan, artikel ini, hanya tersimpan rapi di laptop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar