Dusun Pampang Desa Pondong
Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser.
Tanah memiliki arti
penting dan strategis dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan sumber utama
kehidupan manusia, seperti untuk usaha pertanian, perkebunan, dan pertambangan,
selain itu tanah bernilai ekonomi tinggi bagi manusia. Persoalan tanah seringkali menjadi penyebab konflik antar
manusia. Sejarah penjajahan di Indonesia pada hakikatnya adalah sejarah
penguasaan tanah. Sejak kongsi dagang Vereenigde
Oostindisce Compagnie (VOC) yang berganti. Pemerintahan Belanda, menguasai
nusantara, telah diterapkan sistem hukum pertanahan yang dikenal dengan Agrarische Wet. Sistem ini berlaku pada
tahun 1870-an dan mengatur masa penggunaan tanah oleh pemegang hak pakai tanah.
Saat itu kepemilikan atas tanah ada di tangan pemerintah, yang peruntukkan
tanahnya dikategorikan sebagai milik pribadi dan milik peruntukan usaha.[1]
Agrarische Wet 1870 merupakan perbaikan
dari kebijakan tanam paksa (cultuur
stelsel) yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda. Meskipun,
merupakan perbaikan, esensinya tetap masih menguntungkan pemerintah kolonial.
Sebagai gambaran semangat Agrarische Wet
1870 ternyata tidak jauh berbeda dengan semangat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UUPM) yang cenderung tidak berpihak kepada rakyat
kecil. Terkait dengan hal-hal yang mengatur tentang tanah, UUPM membatasi
semangat yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok
Agraria (UUPA), terutama berkaitan dengan masa penggunaan tanah.
Ada (lima) permasalahan tanah yang sering terjadi
(mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria), yaitu:
- Persoalan yang menyangkut fungsi sosial atas tanah (Pasal 6)
- Jangka waktu atas batas maksimum kepemilikan tanah (Pasal 7);
- Penguasaan dan kepemilikan tanah guntai (Pasal 10);
- Hak monopoli atas tanah (Pasal13);
- Penetapan ganti rugi tanah (Pasal 18).
Kelima
persoalan tanah tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, memicu konflik
atau sengketa pertanahan di masyarakat. Konflik semakin pelik seiring dengan
tingginya tingkat kebutuhan masyarakat akan tanah dan pembangunan yang sering
melupakan faktor keadilan kepemilikan hak atas tanah. Praktek fungsi sosial
atas tanah, seperti tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok Agraria (UUPA), masih sering keliru ditafsirkan dalam praktek di
masyarakat. Fungsi sosial tanah berarti hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya apalagi kalau hal
tersebut merugikan orang lain atau masyarakat yang menguasai. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) mengenai batas umum kepemilikan
tanah juga sering dilanggar dalam praktek di masyarakat.
Pemicu
konflik tanah biasanya muncul dari perbedaan cara pandang dan kepentingan
antara mayoritas rakyat yang membutuhkan tanah sebagai sumber utama kehidupan
dan pihak lain yang membutuhkan tanah untuk kegiatan ekonomi secara besar.
Pemodal atau perorangan yang ingin menguasai hak atas tanah diuntungkan oleh
pilihan kebijakan ekonomi yang condong kepada pertumbuhan daripada pemerataan
ekonomi yang pro rakyat. Atas nama pembangunan, tanah-tanah garapan petani atau
tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh pemodal atau perorangan yang
ingin menguasai hak atas tanah. Perlakuan diskriminatif dilakukan untuk dapat
menguasai kepemilikan tanah yang sejogyannya telah menjadi hak dan sumber
penghasilan serta tempat tinggal bagi petani dan masyarakat adat dirampas untuk
kepentingan pemilik modal sehingga berakibat pada tindak pidana yang dilakukan
oleh pemilik modal.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 di dalam Pasal 28D ayat (1) juga menyebutkan bahwa, Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Negara hukum yang diartikan negara
yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum
didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar hukum
tertulis yang tertinggi diantara dasar hukum tertulis lainnya di Indonesia.
Dengan adanya Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 ini jelas mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum maka dalam
setiap perilaku maupun tindakan warga Indonesia haruslah berdasarkan hukum dan
sadar akan hukum.
Semua
berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada
diskriminasi semacam ini. Demikian penegasan hak dasar dan perlakuan hukum yang
adil terhadap setiap manusia, yang tertuang dalam Pasal 7 Universal Declaration Of Human Rights. Konsensus internasional
inilah kemudian yang menjadi pedoman umum di setiap negara. Pada hakekatnya
hukum merupakan pencerminan dari jiwa dan pikiran rakyat, hukum bagi setiap negara, terutama bagi pemegang kekuasaan
dalam negara, untuk menjalankan tugas dan wewenangnya harus mendasarkan pada
prinsip norma-norma hukum yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis. di samping sebagai pengendalian
sosial (social control), penyelesaian sengketa (dispute settlement),
dan perekayasaan sosial (social engineering).[2]
Perlindungan hukum ditegakan
untuk pengendalian sosial dan perekayasaan sosial untuk dapat mengikat dan
memaksa dilakukan oleh pemerintah terhadap warga negara dalam setiap aspek kehidupan
menjadi sesuatu yang penting dalam melihat hubungan antara negara dan warga
negaranya. Negara sebagai organisasi kekuasaan memiliki kewenangan dalam
merumuskan tata hubungan negara dan warga negara sebagai bagian dalam upaya
memberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap warganya termasuk
masyarakat yang mendiami tanah ulayat masyarakat adat harus ditegakkan
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa dalam rangka penegakan hak
asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Serta pasal
6 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
bahwa identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Kemudian, di dalam Pasal 7
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa, semua
orang sama didepan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk
diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini, dan terhadap segala
hasutan yang mengarah pada diskriminasi.
Di
Negara Indonesia keberadaan hak Ulayat ini ada yang masih kental, ada yang
sudah menipis dan ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi eksistensi
tanah ulayat itu sendiri masih diakui. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya
pengakuan terhadap tanah ulayat yang diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang mengukuhkan dan menyatakan:
“Dengan
adanya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan
hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang
lebih tinggi”.
Dengan
adanya ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria disebutkan diatas dapat diketahui bahwa secara hukum hak ulayat ini
diakui sehingga keberadaanya sah menurut hukum. Oleh karena itu hak ulayat
masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang
memilikinya.
Pengakuan
hak Ulayat dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok
Agraria menjadi dasar yang kuat bagi kelompok masyarakat adat untuk menguasai
dan mengatur serta memanfaatkan tanah-tanah Ulayatnya. Sebagaimana, Maria S.W.
Sumardjono menyebutkan:
Eksistensi
hak ulayat adalah hal yang wajar karena hak ulayat masyarakat beserta
masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia tanggal 17 Agustus Tahun 1945. Jelaslah bahwa hak ulayat itu diakui
dengan pembatasan tertentu, yakni mengenai eksistensinya dan pelaksanaanya”.[3]
Penduduk
masyarakat hukum adat di Dusun Pampang Desa Pondong Kecamatan Kuaro Kabupaten
Paser mempunyai Tanah Ulayat yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat
setempat. Dasar Hukum yang kuat terdapat didalam Undang-undang Pokok-pokok
Agraria Nomor 5 tahun 1960 tentang keberadaan hak Ulayat, sebenarnya dapat
membuat masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk mempertahankan tanah ulayat
jika memang benar-benar masyarakat hukum adat itu masih ada dan diakui
eksistensinya. Oleh karena itu, jika ada pihak lain yang ingin menggunakan
tanah adat, harus melalui pelepasan adat sesuai dengan ketentuan adat suku yang
menguasai tanah ulayat tersebut.
Masyarakat hukum adat,
yang menempati tanah ulayat kerap mengalami perlakuan diskriminasi oleh
pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam pengolahan tanah ulayat, pembakaran
tempat tinggal milik masyarakat serta
perlakuan diskriminasi dan intimidasi yang dialami menjadikan bahwa perlunya
perlindungan hukum selalu ditegakan oleh pemerintah terhadap masyarakat adat yang mendiami tanah ulayat, untuk
kepentingan tempat tinggal dan untuk bertahan hidup.
Tindakan
pembakaran rumah warga yang terjadi di Dusun Pampang Desa Pondong Kecamatan
Kuaro Kabupaten Paser sebagai bentuk tindakan untuk penguasaan tanah ulayat,
membuktikan bahwa lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam
mengelola serta memanfaatkan tanah ulayat milik masyarakat adat. Dengan
hubungan hak atas tanah ulayat dengan hak-hak perseorangan ada pengaruh timbal
balik antara hak ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni semakin banyak usaha
yang dilakukan oleh seorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Misalnya tanah yang
diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi
tersebut diakui kembali menjadi hak ulayat.[4]
Peraturan yang berlaku didalam hukum
positif jelas melindungi hak-hak masyarakat adat, bertolak belakang dengan
kondisi yang terjadi tindakan diskriminasi terhadap pemukiman masyarakat adat
yang berdiri di tanah hak ulayat di bakar dengan tujuan pengambilan hak atas
tanah ulayat.
Tindakan
pembakaran rumah masyarakat di atas tanah ulayat masyarakat Dusun Pampang Desa
Pondong Kabupaten Paser, jelas merupakan tindak pidana sebagaimana tercantum
didalam KUHP Pasal 406 ayat (1) yang menyebutkan:
“barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum menghancurkan,
merusakan, membuat sehingga tak dapat dipakai lagi atau menghilangkan barang
yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya
empat ribu lima ratus rupiah”, serta dalam ayat (2) “pidana itu juga dijatuhkan
kepada orang, yang dengan sengaja dan dengan melawan hukum membunuh, merusak,
membuat sehingga tidak dapat di pakai lagi atau menghilangkan hewan, yang sama
sekali atau sebagian kepunyaan orang
lain.”
Praktek-praktek
perlindungan hukum pidana
terhadap pengakuan bersyarat serta
kecenderungan pemerintah tidak mendorong upaya pengakuan terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat merupakan upaya untuk mendelegitimasi terhadap hukum
adat, sehingga keberadaan sistem hukum dalam masyarakat hukum adat berada dalam
situasi hegemoni kelompok berkuasa yaitu pemerintah dan kelompok pemilik modal,
sehingga akan memudahkan pemerintah dalam memaksakan kepentinganya,
mengendalikan masyarakat, mempermudah pemerintah dalam mengatasi konflik
pemerintah dan pemilik modal dengan masyarakat yang mendiami tanah ulayat.[5]
Perlindungan
hukum bagi masyarakat adat merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek
hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. merupakan tujuan dari hukum memberikan
perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk adanya
kepastian hukum. Didalam perlindungan hak asasi manusia negara, wajib
memberikan perlindungan hak asasi manusia dimasyarakatkan secara luas dalam
rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokrasi.
Negara
hukum yang menjunjung demokrasi merupakan negara yang diselengarakan
berdasarkan kehendak rakyat. Seperti, memberikan jaminan perlindungan hukum
terhadap semua warga negaranya termasuk bagi masyarakat yang bermukim di atas
tanah ulayat, seperti masyarakat Dusun Pampang Desa Pondong Kecamatan Kuaro
Kabupaten Paser yang bermukim diatas tanah ulayat . Negara hukum dalam konteks
ini, diwajibkan untuk memberikan perlindungan hukum atas eksistensi keberadaan
tanah ulayat serta pengrusakan dan pembakaran 4 rumah dan 2 pemondokan milik
masyarakat Dusun Pampang Desa Pondong Kabupaten
Paser dan tindakan diskriminasi serta intimidasi yang dialami masyarakat Dusun
Pampang Desa Pondong Kecamatan Kuaro Kabupaten Paser, tidak mencerminkan
persamaan dihadapan hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan
bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Penulis : Fajrian Noor
Mahasiswa Fakultas Hukum Uniba Tingkat Akhir.
Nb: Latar Belakang Skripsiku
[3]
Maria Soemarjono, Kebijakan Antara
Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 54
[4] http://id.shvoong.com/law-and-politics/1954099-hukum-agraria-indonesia/>diakses
pada tanggal 12 April tahun 2012, Pukul 15.00 Wita
[5] Antonio Gramsci dalam Nezar Patria dan
Andi Arief, 1999, Antonio Gramsci Negara
dan Hegemoni, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm. 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar